Senin, 14 Juni 2010

Usulan Pembubaran Departemen Agama



Usulan pembubaran Departemen Agama dikemukakan tokoh NU (Nahdlatul Ulama), di antaranya Dr Said Agil Siradj yang pernah bersaing dengan KH Hasyim Muzadi dalam pencalonan Ketua Umum NU menggantikan Gus Dur. Juga diusulkan oleh Dr Nur Muhammad Iskandar Al Barsyani –Ketua DPW PKB Jateng– yang juga setuju Republik Indonesia dijadikan negara sekuler.

Terhadap gejala di tubuh NU semacam ini, Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, tampak memperingatkan mereka dengan tulisannya, di antaranya sebagai berikut:

“Duta Masyarakat Baru (koran orang NU yang muncul kembali di masa pemerintahan Gus Dur, pen) edisi 20 Mei 2000 menulis pendapat Dr Nur Muhammad Iskandar Al Barsyani –Ketua DPW PKB Jateng—yang intinya setuju Republik Indonesia dijadikan negara sekuler. Dr Al Barsyani mengusulkan juga untuk membubarkan Departemen Agama, usul yang pernah dikemukakan oleh Dr Said Agil Siradj beberapa tahun lalu yang sempat menimbulkan reaksi yang cukup keras di kalangan umat Islam. Pendapat ini dikemukakan lagi di harian yang sama pada tanggal 7 Juni 2000, yang menunjukkan bahwa masalah tersebut dianggap begitu penting.”

Salahuddin menilai, pendapat Al Barsyani itu sama dan dipengaruhi oleh pendapat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang telah banyak menulis dan melontarkan pendapat di berbagai kesempatan.

Keberadaan Departemen Agama, menurut Salahuddin Wahid, juga merupakan salah satu bentuk dari titik temu antara negara sekuler dengan negara agama. Dan itu adalah kenyataan historis yang merupakan warisan dari para pendiri bangsa. Memang pada awalnya para tokoh Islam mengusulkan didirikannya Departemen Agama, tetapi ditolak oleh kalangan nasionalis sekuler dan non- Islam. Tetapi kemudian justru para tokoh yang menentang gagasan itu lalu mengusulkan dibentuknya Departemen Agama karena secara nyata di lapangan terdapat kebutuhan untuk mendirikannya. Bahwa sekarang ada langkah Departemen Agama yang tidak sesuai dengan tuntutan keadaan, menurut saya (Salahuddin Wahid, pen) bukan Departemen Agamanya yang harus dibubarkan, tetapi kita harus melakukan definisi ulang dari peran dan fungsi Departemen Agama, yang dikaitkan juga dengan pemberian otonomi yang luas kepada Pemerintah Daerah.

Untuk mengakhiri tulisannya, Salahuddin menegaskan:

Sebenarnya kalau Dr Al Barsyani dan Gus Dur mungkin juga banyak tokoh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) lainnya ingin memperjuangkan negara sekuler, tidak menjadi soal. Itu adalah hak sepenuhnya dari mereka.yang tidak bisa kita kurangi. Tetapi jangan mengkaitkan PKB dengan NU, karena NU tidak menginginkan negara sekuler. Anggaran Dasar NU dengan jelas menyatakan hal itu dalam pasal yang mengatur tujuan yaitu “berlakunya syari’at Islam di dalam masyarakat Indonesia”. Hal itu dipertegas dalam keputusan Muktamar NU di Krapyak yang mengamanatkan PBNU untuk memperjuangkan disetujuinya UU Peradilan Agama.

Departemen Agama dan program pensekuleran

Pembahasan tentang negara sekuler dan Departemen Agama agaknya merupakan topik yang bukan sekadar sebagai wacana, namun merupakan bentuk gerilya resmi pensekuleran lewat Departemen Agama, perangkat, dan relasinya. Berikut ini pengakuan (sedikit) dari seorang mantan pejabat tinggi Departemen Agama, H Kafrawi Ridwan:

Pada setiap phase, periode atau orde selalu terjadi dan muncul grand designed strategies terhadap bangsa ini terutama rekayasa terhadap ummat Islam. Itu terjadi pada zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, pada zaman Orde Lama, lebih-lebih zaman Orde Baru dan kelihatannya juga pada era reformasi sekarang ini. Khusus pada periode Orde Baru dimana kita semua terlibat, bagi kami yang bertugas di Departemen Agama grand design strategy ini sangat terasa. Grand strategy atau pada waktu itu disebut “planned change” pada dasarnya berintikan:

a. Apabila Indonesia ingin maju/modern, Indonesia harus dibangun menjadi negara sekuler;
b. Untuk itu agama harus dipisahkan dari urusan negara. Agama adalah urusan pribadi-pribadi;
c. Lembaga-lembaga resmi agama harus dihapuskan dari tugas pemerintahan sebab lembaga tersebut mempersubur dan menjadi akar keberadaan agama dan umat Islam yang dianggap faktor penghambat modernisasi;
d. Lembaga-lembaga resmi agama yang harus dicerabut/dicabut itu adalah lembaga keluarga (KUA, Peradilan Agama) Pendidikan, termasuk Pendidikan Tinggi, Penerangan Agama kecuali haji yang harus dimonopoli pemerintah. Lembaga-lembaga resmi tersebut apabila terpaksa masih dipertahankan harus diintegrasikan dengan lembaga resmi yang lain.

Dalam periode/rezim yang memiliki political will semacam itulah kita (Pak Moekti Ali, Pak Alamsyah, Pak Timur Jaelani, Bu Zakiyah, Pak Mulyanto, Pak Zarkawi dan lain-lain) diserahi dan ditugasi menjadi pejabat Departemen Agama dengan dibantu antara lain oleh Bung Amidan; Bung Marwan; Bung Ihtiyanto; Bung Bambang Pranowo; Bung Johan Effendi; dan lain-lain.

Strategi semacam ini masih dapat kita baca dari buku-buku Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 tahun oleh Ali Murtopo dan konsep-konsep/ naskah GBHN-GBHN asli dari Golkar yang diolah oleh eksponen Golkar yang sekuler.

Pengakuan mantan pejabat tinggi Departemen Agama yang kemudian jadi Ketua Dewan Masjid Indonesia dan Kepala Bidang Rohani di Golkar zaman Orde Baru pimpinan Soeharto ini cukup gamblang. Padahal, saya lihat, Pak Kafrawi Ridwan ini adalah orang Golkar yang suaranya ke masyarakat walau sudah tidak menjabat sebagai petinggi di Departemen Agama, masih kurang pas dengan kepentingan Islam. Apalagi kalau mengingat dosa-dosanya terhadap umat Islam, diantaranya memasukkan Islam Jama’ah ke dalam Golkar, padahal telah dilarang oleh Jaksa Agung tahun 1971, maka jelas Kafrawi ini tidak dekat dengan kepentingan umat Islam, lebih dekat kepada kepentingan Golkar dan political will tersebut. Suatu ketika Pak Kafrawi pun merasakan dampratan. Di antaranya, ada unsur KISDI, Aru Saef Asadullah, yang ketika berombongan dengan lembaga-lembaga Islam untuk menyampaikan aspirasi umat Islam di DPR 1997 mengenai perlunya pencabutan aliran kepercayaan dari GBHN, lalu di Fraksi Golkar berhadapan dengan Pak Kafrawi Ridwan. Langsung dalam acara resmi berhadapan dengan Pak Kafrawi selaku penerima aduan tokoh-tokoh Islam ini Aru berkata serius: “Ternyata sekarang ini (1997) kami berhadapan lagi dengan stock lama, yaitu Pak Kafrawi Ridwan. Dulu waktu kami menyuarakan agar aliran kepercayan jangan dimasukkan ke GBHN, tahun 1977/ 1978, kami berhadapan dengan Bapak. Tetapi sekarang ini pula, 20 tahun kemudian, ternyata berhadapan lagi dengan Bapak.”

Sebagai bekas pejabat dan politikus kawakan, Pak Kafrawi Ridwan tampaknya sulit untuk menyembunyikan mukanya yang tampak agak memerah saat itu. Sedang semprotan yang lainnya pun tak kurang pedas. KH Ahmad Kholil Ridwan berkata, nama saya ada kesamaan dengan Bapak. Sama-sama pakai Ridwan. Namun saya tidak mau jadi pembela aliran kemusyrikan seperti yang Bapak bela.

Misi yang mengharu biru ummat Islam itu, walau kini diakui oleh Kafrawi Ridwan di masa tuanya, namun justru misi itu pula yang ia (bersama sebagian konco-konconya) nikmati dan terapkan pada umat Islam. Hingga ketika Lukman Harun (almarhum) tokoh Muhammadiyah berpapasan dengan H Kafrawi Ridwan (sama-sama Golkarnya), di tangga Hotel Sahid Jakarta, Lukman ngomong: Bagaimana ini, perjuangkanlah, sekarang ini umat sedang menginginkan agar pelajaran agama di sekolah ditambah, jangan hanya dua jam pelajaran perminggunya. Jawab Kafrawi Ridwan: Ah… yang sudah ada itu saja kita pertahankanlah…

Sudah tidak jadi pejabat Departemen Agama pun, ketika jadi Ketua Umum DMI (Dewan Masjid Indonesia) suara-suaranya masih model apa yang kini ia sebut Grand strategy itu, yang intinya pensekuleran. Hingga, setiap ada hal-hal yang sifatnya menekan umat Islam, maka Kafrawi bersuara, entah lewat siaran pers atau teks khutbah hari raya untuk dikirmkan ke pers, yang isinya agar umat Islam memahami (maksudnya agar umat tidak menganggap bahwa itu suatu penekanan yang merugikan umat Islam).

Barangkali komentar ini terasa berlebihan, tetapi ini hanya untuk menggambarkan, Pak Kafrawi yang dari satu sisi pengakuannya, dia dan para pejabat lainnya berjuang untuk Islam di antaranya untuk lahirnya Undang-undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-undang Pendidikan Agama dan lain-lain, ternyata di mata umat (paling kurang adalah di mata saya) adalah menekan umat Islam juga, atau membujuk agar umat Islam memahami tekanan penguasa itu sebagai bukan suatu tekanan. Dan agar pensekuleran itu diterima saja.

Bagaimana pula bisa difahami bahwa yang mau mensekulerkan itu hanyalah penguasa pusat, Soeharto dan para orang kepercayaannya, bukan para pejabat Departemen Agama. Saya dengar langsung, Mukti Ali yang sudah lama tidak jadi menteri agama, ketika dikunjungi Menteri Agama Tarmizi Taher pengganti Munawir Sjadzali sejak 1993, ternyata Mukti Ali berkali-kali menekankan agar pengiriman dosen-dosen IAIN (Institut Agama Islam Negeri) untuk belajar ke negeri-negeri Barat tetap dilanjutkan.Padahal umat Islam umum sudah tahu, Barat itu tempat orang kafir anti Islam. Kenapa belajar apa yang disebut studi Islam malah ke orang kafir yang jelas-jelas anti Islam? Sedang hasilnya, hanyalah menjadikan rancunya pemahaman Islam, bahkan menumbuhkan tokoh-tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) yang berfaham pluralisme agama (menyamakan semua agama), menyamakan agama Tauhid dengan agama syirik. Kiprah Dr Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan lain-lain yang mensekulerkan dan meliberalkan pemikiran dalam Islam di Indonesia telah nyata.

Doktor-doktor yang belajar “Islam”nya ke Barat itu kemudian kembali mengajar di IAIN-IAIN dan Perguruan Tinggi Islam, S1, S2, dan S3. Sehingga secara merata, IAIN-IAIN dan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini diajar oleh orang-orang yang belajar Islamnya bukan ke para Syaikh, ulama, atau orang Islam shalih yang alim, namun adalah murid dari para kafirin orientalis Barat yang dikenal anti Islam. Mau jadi Islam macam apa ini? Maka tak mengherankan kalau negeri ini ramai dengan pendapat-pendapat nyeleneh (aneh) yang menyimpang dari Islam. Itu semua agen utamanya adalah Departemen Agama RI. Sehingga tidak usah profesor-profesor kafir orientalis Barat itu bergentayangan ke Indonesia, sudah cukup mewakilkan kepada murid-muridnya yang dikirmkan oleh Departemen Agama ke Barat, kemudian menyebarkan ilmu orang-orang kafir itu kembali ke Indonesia secara beramai-ramai. Tidak diingkari bahwa pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke Timur Tengah masih ada, namun itu bukan prioritas apalagi diutamakan.

Dari kenyataan itu, maka di antara para pejabat Departemen Agama terbukti, dalam melaksanakan strategi Soeharto –sebagai contoh kongkretnya– dalam mensekulerkan umat Islam Indonesia ini bukan hanya ketika mereka jadi pejabat saja. Sudah tidak jadi pejabat pun masih tetap gencar. Hingga bisa dipertanyakan, sebenarnya apakah Soeharto yang diajari untuk mensekulerkan umat Islam oleh Mukti Ali, Kafrawi, Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Johan Efendi, Gus Dur dan sebagainya atau orang-orang Departemen Agama dan relasinya yang menjajakan sekulerisme itu ada bossnya lagi di atas Soeharto? Kalau hanya atas perintah Soeharto, kenapa ketika orang yang dikenal menekan Islam selama 30-an tahun ini lengser dari kursi kepresidenan, mereka ini masih tetap lestari dalam menjajakan sekulerisme? Dan kenapa Pak Kafrawi Ridwan berani membuka mulut secara gamblang, yang seolah agar umat Islam ini mengalamatkan dosa-dosa pensekuleran itu kepada Soeharto dan Ali Murtopo (saja), di saat dua tokoh ini yang satu sudah mati, dan yang satunya lagi sudah sakitan? Bahkan kenapa ketika Kafrawi Ridwan buka mulut ini pas umat Islam Indonesia dan lainnya sedang marah kepada kafirin Amerika, Australia dan lainnya yang bersikap terlalu menekan umat Islam?

Kalau diurut-urut, semuanya bisa faham. Kafrawi dan teman-temannya yang merupakan pejabat Departemen Agama, itu jelas pelaksana sekularisasi untuk umat Islam Indonesia. Tugas itu dari pusat kebijakan pemerintahan. Nah, yang jadi persoalan, kenapa para pelaksana itu, juga relasi-relasi pelaksana, yang juga jadi pelaksana sendiri-sendiri di tempat masing-masing itu mereka sampai kini tetap konsisten dalam kerja sekularisasi, padahal pemerintahan yang mereka abdi (rezim Soeharto) sudah ambruk. Lagi pula para pelaksana itu sudah tidak jadi pejabat. Ini jawabannya bisa diperkirakan secara kongkret, tentu saja ada yang dianggap lebih berkuasa dibanding penguasa Indonesia.

Kemudian persoalan lain lagi, kenapa seperti Al Barsyani itu disamping menginginkan negara jadi sekuler, masih pula usul agar Departemen Agama dibubarkan. Padahal, Gus Dur saja ketika jadi presiden tidak membubarkan Departemen Agama, walau dia membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.

Persoalan Al Barsyani ini sudah dijawab oleh Pak Salahuddin Wahid, katanya hanya menirukan atau terpengaruh Gus Dur yang sekuler. Kalau demikian, suara Al Barsyani dicuatkan waktu Gus Dur berkuasa itu tidak ada kepentingan yang lebih dianggap penting dibanding kepentingan perjuangan pensekuleran. Artinya, Gus Dur mengerti bahwa Departemen Agama adalah sarana yang baik untuk mensekulerkan umat Islam, baik lewat Departemen Agama itu sendiri maupun Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia di bawah naungannya, serta relasi-relasinya berupa organisasi atau lembaga yang mendekat-dekat kepada Depag. Kalau Gus Dur menyadari itu, kenapa anak buahnya dari PKB (disuruh?) ngomong agar Departemen Agama dibubarkan? Kira-kira saja begini: Dengan disuarakan agar Departemen Agama dibubarkan, itu orang-orang Depag yang sudah diketahui banyak “jasanya” dalam pensekuleran umat Islam ini, dan sementara tampak agak lesu dalam mensekulerkan, maka harus dicambuk, di antaranya dengan kata-kata: Bubarkan Departemen Agama. Kalau disuarakan seperti itu, maka ada dua manfaat. Pertama, umat Islam yang kira-kira punya ghirah Islamiyah akan bangkit dan ikut mempertahankan Departemen Agama, sekaligus mengakui bahwa Departemen Agama itu sangat bermanfaat bagi umat Islam (perjuangan) Islam. Sebaliknya, bagi yang faham tentang fungsinya adalah sebagai salah satu sarana penting untuk mensekulerkan umat Islam Indonesia akan segera bangkit kembali untuk melaksanakan tugas-tugasnya.

Dari sinilah bisa difahami, sekalipun Gus Dur begitu beraninya membubarkan dua departemen, namun tokoh yang oleh adiknya (Salahuddin Wahid) disebut sekuler ini tidak terdengar ada niatan untuk membubarkan Departemen Agama.

Dari sisi lain, kalau di antara dosa-dosa Kafrawi selaku pejabat Departemen Agama adalah memasukkan Islam Jama’ah (aliran sesat lagi menyesatkan, menurut Fatwa MUI –Majelis Ulama Indonesia– yang berganti-ganti nama, dari Darul Hadits, menjadi Islam Jama’ah, lalu Lemkari, lalu kini LDII) ke Golkar, maka bisa dilihat pula di antara orang-orang Departemen Agama dalam kaitannya dengan pemahaman agama (Islam). Kini Kepala Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Agama Departemen Agama adalah Dr Atho’ Mudhar alumni Barat. Dia ini punya faham bahwa Masjidil Aqsho yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ itu bukan di Baitul Maqdis Palestina, tetapi di Baitul Makmur di langit. Ini di samping nyleneh (aneh), masih pula berbau membela Yahudi Israel yang mencaplok Tanah Palestina dan Masjidil Aqsho. Sementara itu Direktur Pendidikan Tinggi Agama Islam Departemen Agama adalah Dr Komaruddin Hidayat. Dia ini berfaham bahwa wanita Muslimah (Ira Wibowo) dikawini lelaki Nasrani (Katon Bagaskara) tidak apa-apa asal tidak mengganggu keimanannya. Ini faham lintas agama yang menabrak hukum-hukum Islam. Sementara itu Johan Effendi yang diangkat oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali sebagai APU (Ahli Peneliti Utama) Departemen Agama adalah anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Lain lagi Dr Musdah Mulia di Litbang Departemen Agama, menurut seorang pejabat di sana, dia ini mendompleng kantor Departemen Agama dalam kegiatannya berupa lembaga yang menyuarakan feminisme, faham perangkat kaum sekuler untuk menjerumuskan umat Islam. Terakhir tahun 2004, Dr Musdah Mulia menggegerkan dengan memunculkan draft Kompilasi Hukum Islam yang isinya sangat bertentangan dengan hokum Islam. Di antaranya poligami diharamkan, tapi nikah mut’ah dibolehkan. Sedang duda (lelaki yang ditinggal mati isterinya atau cerai dengan isterinya) pun kena ‘iddah (masa tunggu) 130 hari.

Dengan kondisi seperti itu, orang sekuler bahkan anti Islam pun sudah faham bahwa di dalam Departemen Agama sendiri sudah ada tokoh-tokoh Islam yang pada dasarnya fahamnya mengacak-acak Islam. Maka dalam tempo yang sudah agak lama, para anti Islam pun tidak menyuarakan agar Departemen Agama dibubarkan. Adapun tiba-tiba di masa pemerintahan Gus Dur muncul Al Barsyani dan juga Said Agil Siradj yang mengusulkan agar Departemen Agama dibubarkan itu di samping seperti faktor tersebut di atas (menggugah agar lebih giat lagi pensekulerannya lewat Depag), masih pula ada kemungkinan lain. Apa itu? Yaitu untuk menambah nilai bagi pelontar ini di depan orang Nasrani dan lainnya dalam rangka mengamalkan kebalikan perilaku sahabat Nabi saw. Kalau sahabat Nabi saw bersikap ruhamaa-u bainahum (saling kasih sayang antara mereka –sesama sahabat/ Muslim) sedang dua tokoh ini adalah saling kasih sayang terhadap Kristen dan orang sekuler. Buktinya? Ungkapan mereka itu sendiri seperti tersebut di atas. Dan menurut slebaran di Muktamar NU di Jawa Timur, tokoh itu adalah sering blusak-blusuk (main masuk) ke gereja. Di samping itu untuk menunjukkan kepada siapa saja yang sekuler ataupun anti-anti Islam bahwa keberanian bersuara agar Departemen Agama dibubarkan itu berarti penyuaranya lebih berani dan lebih nekat lagi dibanding tokoh-tokoh sekuler yang ada di dalam Depag sendiri. Sesama penjual, saling menunjukkan kelebihan dagangannya.. Begitulah kira-kira adanya.




Pembaharuan Nurcholish Madjid ke Arah Paganisme



Dr. Nurcholish Madjid alumni Chicago Amerika mengemukakan beberapa masalah yang masih belum jelas, bahkan bisa dipertanyakan keshahihannya. Di antaranya:

1. Islam dianggap bukan nama agama, tapi hanya sikap penuh pasrah kepada Allah.
2. Istilah musyrikat dianggap tidak mencakup segala jenis wanita musyrik, tapi hanyalah wanita musyrik Arab.
3. Sebaliknya istilah Ahli Kitab dianggap bukan hanya Yahudi dan Nasrani, tetapi menurut Nurcholish Madjid, mencakup watsaniyin (penyembah berhala/paganis) India, China, dan Jepang.
4. Di samping itu Nurcholish Madjid menganjurkan umat untuk mempelajari kitab-kitab suci lama.

Mengenai masalah pemaknaan Nurcholish tentang Islam, dia sudah menjelaskan di koran Pelita 30 Desember 1993 M/ Rabu 6 Rajab 1413 H dengan mengutip kitab-kitab Ibnu Taimiyah. Penjelasan Nurcholish adalah: (Jadi semua agama Nabi adalah Islam, yang intinya ialah Tauhid atau Monotheisme)... Tetapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah dilebihkan oleh Allah atas sekalian para Nabi, dan umat beliau telah dilebihkan atas sekalian umat, tanpa sikap mencela kepada siapa pun dari kalangan para Nabi itu, tidak pula kepada umat-umat yang mengikuti mereka.

Demikian tulis Nurcholish mengutip Ibnu Taimiyyah, Al-Iman hlm. 298.


Pemaknaan Islam, Nurcholish Memlintir Ibnu Taimiyyah

Pengutipan Nurcholish Madjid terhadap apa yang ia nisbahkan kepada Imam Ibnu Taimiyyah beserta komentar Nurcholish Madjid itu mari kita buktikan, apakah Imam Ibnu Taimiyyah seperti yang Nurcholish Maksud.

Masalah agama yang satu (Islam) dan berbeda-bedanya syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara ibadah) bagi setiap umat telah dijelaskan secara deteil oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As-Shofadiyah. (As-Shofadiyah, Ibnu Taimiyyah 661-728H, , 2 juz, 1406 cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307 -313). Penjelasannya sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah: 213).

Ibnu Abbas berkata, Antara Adam dan Nuh adalah 10 kurun, semuanya di atas Islam. Firman-Nya kaanan naasu ummatan wahidah (“Manusia itu adalah umat yang satu) artinya di atas kebenaran yaitu agama Islam. Lalu mereka berselisih seperti disebutkan hal itu dalam Surat Yunus , inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan itu yang betul.

Dikatakan, mereka adalah satu umat di atas kebatilan, itu termasuk (pendapat) yang batil. Karena agama Allah Ta’ala yang diridhoi bagi diriNya adalah agama yang satu di masa awalin dan akhirin, yaitu peribadahan kepada Allah saja, tidak ada sekutu baginya. Dan itulah agama Islam. Sedang bermacam-macamnya syari’at itu seperti bermacam-macamnya syari’at yang satu untuk sesuatu yang satu. Nabi Muhammad saw adalah penutup nabi-nabi dan seutama-utamanya para utusan, tidak ada nabi sesudahnya. Dan beliau diutus dengan agama Islam, masih Islam agamanya, sedangkan beliau diperintahkan pertama dengan menghadap kiblat ke Shokhroh Baitul Makdis, kemudian diperintah yang kedua kalinya dengan (kiblat baru, pen) menghadap Ka’bah, sedangkan agamanya itu satu walaupun bermacam-macam syari’atnya. Maka demikian pula firman Allah Ta’ala:

“… maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Maaidah: 48).

Apa yang telah Allah jadikan bagi setiap kitab berupa syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara ibadah) tidaklah mencegah bahwa agama itu satu. Orang-orang yang dulu berpegang dengan Taurat dan Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka mereka itu berada di atas agama Islam, walaupun syari’at untuk mereka itu hanya khusus bagi mereka.

Demikian pula orang-orang yang berpegang pada Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka di atas agama Islam, walaupun Al-Masih telah menghapus sebagian apa yang ada di Taurat dan menghalalkan untuk mereka sebagian yang (tadinya) haram atas mereka. Demikian pula Muhammad saw diutus dengan agama Islam walaupun Allah menghapus apa yang Dia hapuskan seperti kiblat (semula kiblatnya Baitul Maqdis di Palestina kemudian Allah hapus dan diganti dengan berkiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, pen).

Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).

Oleh karena itu ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat,

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran 85), lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, kami orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri); maka Allah Ta’ala berfirman, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS Ali Imran: 97), maka mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, kami tidak berhaji. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).

Dan telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa memiliki bekal atau unta/kendaraan yang menyampaikannya ke Baitullah dan dia tidak berhajji maka hendaklah ia mati kalau mau sebagai Yahudi dan kalau mau sebagai Nasrani.” (HR At-Tirmidzi dan lainnya).

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran: 18). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran: 19). Kemudian jika mereka mendebat kamu (Muhammad, tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20).

Nurcholish mengembalikan makna Islam kepada pengertian umum, sangat berbahaya.

Nurcholish mengutip pula ayat: Dan barangsiapa menganut selain Al-Islam sebagai din (agama), maka ia tidak akan diterima dan di akherat akan termasuk mereka yang merugi. (terjemah QS Ali Imran: 85). Namun, karena Nurcholish mengembalikan terjemahan Al-Islam dalam ayat itu kepada yang umum, untuk seluruh pengikut para Nabi, maka menjadi tidak jelas, apakah mereka yang mengaku pengikut Nabi Musa dan Isa (ahli kitab) sekarang ini diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lebih-lebih, Nurcholish memasukkan watsaniyin, penyembah-penyembah berhala India, China, dan Jepang sebagai ahli kitab karena mereka Nurcholish anggap memiliki kitab suci yang intinya tauhid. Kalau bagi Nurcholish, sekarang pun agama selain pengikut Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam masih diterima Allah karena juga termasuk dalam pengertian Al-Islam secara umum, maka mafhum mukhalafahnya (pengertian tersiratnya), agama yang tidak diterima Allah itu hanya agama penyembah berhala Arab, karena menurut Nurcholish Madjid, yang dihitung musyrikat hanyalah musyrikat Arab. Kalau sampai pemahamannya seperti itu, berarti sangat bertentangan dengan misi tauhid itu sendiri, dan itu sangat berbahaya bagi aqidah Islam.

Ceramah Murid Syaikh Al-Albani di IAIN Surabaya Menegaskan Makna Islam

Walaupun lontaran Nurcholish Madjid yang mengaburkan makna Islam itu dia keluarkan tahun 1990-an, namun dampaknya sangat membahayakan, karena disusul pula dengan penyebaran faham pluralisme agama yang menyamakan semua agama oleh kelompok Islam Liberal (JIL –Jaringan Islam Liberal, Paramadina dan konco-konconya) serta diterbitkan pula buku panduan aqidah pluralisme agama yang berjudul Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, Jakarta, 2003.

Maka seorang Syaikh Ahli Hadits, murid Syaikh Al-Albani pun ketika berceramah di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis 9 Desember 2004, menegaskan tentang makna Islam yang sebenarnya, guna menyanggah faham sesat yang telah disebarkan sejak belasan tahun itu. Berikut ini petikan ceramah Syaikh di IAIN Surabaya :

“…Tentang hakikat agama Islam. Agama yang dengan bangga kita menisbatkan diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Dialah agama Islam yang difirmankan oleh Allah:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)

Ayat ini merupakan Dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim dan merupakan syariatnya yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama yang haq dan agama yang diterima dan agama penutup. Karena Rasul Allah bersabda: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”.

Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian khusus adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka maksudnya adalah agama Nabi Muhammad . Sedangkan makna umumnya adalah agama semua Nabi yang mengajarkan Tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah . Sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’aam: 162-163)

Pasrah menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing Nabi adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara khusus yang karenanya al-Qur’an diturunkan adalah tunduk patuh kepada Allah dan taat kepada Muhammad SAW yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat.

Di dalam al-Qur’an, di dalam surat al-Fatihah, surat terbesar dalam al-Qur’an, yang menjadi rukun shalat dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits: “Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak kecil apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini adalah agama yang dianut oleh para Nabi, para shiddiq, shuhada’ dan kaum shalih seperti firman Allah:

“Dan barangsiapa yang menta‘ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni‘mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (al-Nisaa’: 69).

Telah shahih di dalam al-Sunnah bahwa ketika Rasul Allah  menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” beliau mengatakan yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani”.

Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan mengatakan bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima tetapi sifat agama maka ini tertolak dan batil.

Pertama: Tertolak oleh al-Imran: 85:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)

Yang mana dalam ayat ini kata Islam terkait dengan nama dan sebutan bukan dengan sifat dan sikap.

Murtad menurut Nurcholish Madjid hanya mundur

Pada tahun 1986, saya (Hartono Ahmad Jaiz) pernah bertanya kepada Dr. Nurcholish Madjid di rumahnya, Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dalam suatu wawancara bersama Mas Ichwan Sam dari Koran Harian Pelita. Pertanyaan saya: Kalau Cak Nur mengartikan Islam dengan sikap pasrah hanya kepada Allah seperti itu, maka yang disebut murtad itu bagaimana?

Jawab Nurcholish: Oh ya. Kalau orang Islam jadi Kristen ya mundur, dong. Ya jelas mundur. Itu kan iring-iringan begini, Islam yang memimpin. Dan ini sudah dibuktikan oleh sejarah. Ini Barat memimpin sekarang ini kan baru 200-an tahun saja. Dunia ini dipimpin oleh Islam selama beratus-ratus tahun. Jadi orang Islam sendiri jangan lagi mundur. Itu nggak bisa. Justru kalau bisa yang di belakang itu ditarik ke depan. Jawaban Nurcholish Madjid itu tidak jelas.

Menjawab masalah keimanan dengan kepemimpinan umat di dunia. Atau karena saat itu rancang bangun konsep pengertian tentang Islam diartikan penyerahan diri belum cukup rapi tahun 1986 itu, wallahu a’lam.

Kalau landasan beragamanya hanya akal, bukan Qur’an dan Sunnah, maka modelnya ya seperti Nurcholish Madjid itu. Ditanya tentang murtad dari Islam, dia jawab dengan kenyataan kemajuan di dunia ini, bukan merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal tentang murtad itu sudah jelas dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, di antaranya:

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah: 217).

Firman Allah Ta’ala Barangsiapa yang murtad artinya kembali (keluar) dari Islam kepada kufur, maka mereka sia-sia artinya batal dan rusak, al-hibthu, yaitu kerusakan yang disandang binatang ternak mengenai perutnya karena banyak makanannya, rumput, lalu terbukalah lobang-lobangnya dan kadang mati. Dari yang demikian itu maka ayat ini mengancam Muslimin agar teguh di atas agama Islam.

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Maaidah: 54).

Penjelasan Tafsir At-Thabari sebagai berikut:

Allah Ta’ala mengingatkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Hai orang-orang yang beriman artinya yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa-apa yang dibawa Nabi mereka, Muhammad, kepada mereka; barangsiapa di antara kamu sekalian murtad dari agamanya (maksudnya) barangsiapa di antara kalian yang kembali dari agamanya yang haq/ benar yang pada hari ini ia berada di atasnya lalu menukarnya dan mengubahnya dengan memasuki ke dalam kekufuran, apakah itu ke dalam agama Yahudi atau agama Nasrani atau selain itu berupa jenis-jenis kekufuran, maka tidak akan membahayakan kepada Allah sedikitpun. maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. Maka Allah akan mendatangkan ganti kepada orang-orang mukmin yang tidak menukar, tak mengubah, dan tidak murtad dengan kaum yang lebih baik dibanding yang telah murtad dan menukar agama mereka; Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah.

Dari dua ayat itu telah jelas bahwa orang murtad yaitu orang yang keluar dari Islam masuk kepada kekufuran, entah itu kepada Yahudi, Nasrani atau kekufuran yang lainnya. Mereka itu bila meninggal dalam keadaan kafir (murtad) maka musnah sia-sia amalnya, dan akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Di dunia ini, orang-orang mukmin diancam jangan sampai murtad, sekaligus dijanjikan apabila ada yang murtad maka Allah akan mengganti dengan kaum lain yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah.

Imam Ibnu Taimiyyah menegaskan contoh:

“…Dan lebih jelas dari itu (golongan yang tak sesuai Sunnah) bahwa di antara mereka ada yang mengarang buku mengenai agama musyrikin dan murtad dari Islam sebagaimana Ar-Razi mengarang kitabnya mengenai penyembahan bintang-bintang dan berhala-berhala, dia menegakkan dalil-dalil atas bagusnya yang demikian, manfaatnya, dan mencintainya. Dan ini adalah murtad dari Islam menurut kesepakatan Muslimin, walaupun kadang ia taubat darinya dan kembali ke Islam.”

Murtad itu masalah yang sangat besar dan hukumannya pun sangat berat. Nabi Muhammad saw menegaskan:

Dari Qatadah, dari Al-Hasan berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia. (HR An-Nasai, Al-Bukhori, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan lainnya).

Ahli Kitab

Nurcholish memasukkan watsaniyin (penyembah berhala/paganis) India, China, dan Jepang sebagai ahli kitab, dengan alasan mereka itu mempunyai kitab suci yang intinya tauhid, karena setiap bangsa telah berlalu padanya nadzir (pemberi peringatan). Hal itu Nurcholish nisbahkan kepada Abdul Hamid Hakim dengan mengutip Kitabnya, Al-Mu’inul Mubin, Juz 4 yang jumlah halamannya 168 halaman termasuk 3 halaman daftar isi dan halaman terakhir kosong itu (kalau yang terbitan Bulan Bintang Jakarta).

Kutipan Nurcholish itu ada beberapa persoalan. Pertama, dikutip bagian yang mungkin dianggap sesuai dengan kepentingan Nurcholish saja. Kedua, Abdul Hamid Hakim mengaku mengutip dari Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, diringkas dan diubah, mengenai jawaban pertanyaan masalah bolehkah menikahi wanita China yang diharapkan masuk Islam . Ketiga, Nurcholish tidak komprehensif dalam mengemukakan pengertian, hanya mengutip sebagian. Keempat, arah pembahasan berbeda. Abdul Hamid Hakim menguraikan tentang pernikahan dengan musyrikat, jadi arah pembahasannya tentang menikahi wanita China kalau diharapkan masuk Islam. Dan kalau wanita yang dikawini menjadi murtad maka cerai. Abdul Hamid Hakim juga mengutip tentang peringatan Rasyid Ridha agar tidak mengawini wanita Nasrani kalau dikhawatirkan akan menarik laki-laki Islam menjadi agama wanita seperti perkawinan dengan wanita Eropa yang banyak terjadi. Terlepas dari itu, Nurcholish Madjid perlu mempertanggungjawabkan pula, benarkah watsaniyin /berhalais atau paganis India, China, dan Jepang itu termasuk Ahli Kitab seperti Yahudi dan Nasrani?

Kalau alasannya karena mereka dianggap memiliki kitab suci karena setiap bangsa itu telah berlalu padanya utusan, maka bukankah penyembah berhala Arab justru lebih afdhal untuk dimasukkan sebagai Ahli Kitab? Karena musyrikin dan musyrikat Arab itu jelas-jelas mereka berhaji mengikuti Nabi Ibrahim dan Isma’il.

Kenapa justru musyrikat hanya dipredikatkan kepada wanita Arab padahal mereka justru pengikut Nabi Ibrahim yang jelas memiliki shuhuf (kitab)?

Sekalipun Nurcholish Madjid mengatakan mengutip dari sana-sini, namun hal itu tidak akan bisa cuci tangan begitu saja, karena Nurcholish bahkan menjadikan kutipan-kutipannya itu sebagai landasan pemikirannya, padahal apa-apa yang dia kutip itu sama sekali tidak seperti yang Nurcholish maksudkan. Dalam masalah ini saja Nurcholish Madjid telah memlintir Abdul Hamid Hakim ulama Sumatera Barat , bahkan sebelumnya tadi Nurcholish Madjid telah memlintir Imam Ibnu Taimiyyah ulama terkemuka tingkat dunia, dalam masalah sangat mendasar yaitu makna Islam.

Konsekuensi logisnya, kalau watsaniyin/berhalais –penyembah berhala itu termasuk ahli kitab, musyrikat itu hanya musyrikat Arab, dan Al-Islam itu dianggap seluruh pengikut para nabi sampai kini, maka semua agama sekarang ini diterima oleh Allah selain agama berhala Arab. Muslimah bisa dinikahi oleh siapa saja kecuali penyembah berhala Arab. Ini sangat bertentangan dengan akidah tauhid Islam.

Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Lafal asy-syirku (syirik) dalam Al-Qur’an seperti Firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. (QS At-Taubah: 28).

Itu mencakup seluruh orang kafir, baik Ahli Kitab maupun lainnya, menurut umumnya para ulama, karena lafal syirk di situ tersendiri dan tanpa disandingi, dan kalau lafal musyrikun (orang-orang musyrik) itu disandingkan dengan lafal Ahli Kitab maka menjadi dua macam.

Pemahaman musyrikat hanya musyrikat Arab itu harus diberi dalil untuk menunjuk bahwa yang dimaksud hanya wanita musyrik Arab. Tanpa menunjukkan dalil, maka pengkhususan hanya musyrikat Arab itu tidak bisa diterima secara syar’i. Di samping itu, pemahaman Nurcholish itu bertentangan dengan kaidah: Al-‘Ibratu bi’umuumil lafzhi laa bikhushuushis sabab, pengertian ungkapan itu pada lafalnya secara umum bukan pada sebab tertentu.

Alur pemikiran Nurcholish bersifat kontradiktif. Innad diina ‘indallaahil Islaam (sesungguhnya agama di sisi Allah itu Al-Islam), Al-Islamnya diartikan umum, bukan Islam khusus yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam saja. Demikian pula Al-Islam pada surat Ali Imran ayat 85. Sedangkan musyrikat yang sifatnya umum diartikan khusus musyrikat Arab.

Mengenai pengertian lafal Al-Islam, bisa ditelusuri adanya peristiwa Abdullah bin Salam dan kawan-kawan yang mereka itu beragama Yahudi kemudian masuk agama Islam dan masih mengikuti aturan Yahudi tentang diharamkannya beberapa macam makanan yang hal itu dihalalkan dalam Islam, ternyata menjadi penyebab turunnya ayat: Udkhuluu fis silmi kaaffah. Masuklah kalian ke dalam Islam dengan sempurna. Kalau benar yang dimaksud Al-Islam di dalam Al-Qur’an tersebut masih tetap bersifat umum mencakup pengikut nabi-nabi terdahulu walaupun sudah datang Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti yang Cak Nur maksudkan, tentunya Abdullah bin Salam yang Yahudi masuk Islam itu dibiarkan saja masih mengikuti sebagian syari’at Yahudi. Pemahaman Nurcholish itu berarti kontradiksi dengan ayat dan kaidah. Ayat (lafal) al-Islam yang sudah ditakhsish dengan ayat agar masuk Islam (yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) dengan sempurna hingga pengertiannya menjadi khusus, malah Nurcholish artikan umum. Sedang ayat (lafal) musyrikat yang umum diartikan secara khusus (hanya wanita musyrik Arab) dengan alasan kebiasaan Al-Qur’an dalam menamakan orang musyrik. Kalau pemahamannya seperti itu, ungkapan-ungkapan Al-Qur’an itu banyak yang hanya untuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Seperti akhir surat Al-Kafirun, artinya: Bagi kamu sekalian (orang-orang kafir) agamamu dan bagiku (Muhammad) agamaku. Pantas saja Cak Nur pernah membolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal, karena memang yang tertera dalam Al-Quran itu hanya bagiku (Nabi Muhammad seorang) agamaku. Cara seperti ini mengakibatkan perintah-perintah dalam Al-Quran tidak akan dipahami sebagai untuk umat Islam, karena banyak yang hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam Seperti: Katakanlah (wahai Muhammad) Dia Allah itu satu.

Sekali lagi, sekalipun Nurcholish bisa berkilah bahwa itu hasil kutipan, bukan orisinal pendapat Nurcholish, namun sebagai ilmuwan yang ingin membangun buah pikirannya untuk dimasyarakatkan mesti mengoreksi, apakah yang dikutip itu shahih atau tidak menurut kaidah agama. Sebab hal ini membahas agama. Di samping itu, apakah mengutipnya itu sesuai dengan inti permasalahan dalam pembahasan itu. Dalam kasus ini, diputus rangkaian dan penyebabnya, sehingga arahnya berbeda antara yang dimaksud pihak yang dikutip yakni Abdul Hamid Hakim dengan tujuan Nurcholish sebagai pengutip. Selayaknya sebagai pengutip yang baik tidak menyelisihi pemahaman pembahasan teks yang dikutip.

Anjuran Mempelajari Kitab Suci Lama

Setelah nyata ketidakakuratan pemahaman Nurcholish dalam hal musyrikat, mari kita lacak anjuran dia mengenai kitab-kitab suci lama. Nurcholish dengan jelas menganjurkan kaum Muslim hendaknya mempelajari dan menarik hikmah, dari kitab-kitab suci lama, dan kaum Ahlul Kitab mempelajari Al-Qur’an. (Makalah Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang, halaman 14).

Anjuran Nurcholish itu jelas bertentangan dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Berkata Abu Hurairah:

Adalah ahli kitab, mereka membaca Taurat dengan Bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk warga Islam. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah kamu sekalian membenarkan ahli kitab dan jangan kalian membohongkan mereka. dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (HR Al-Bukhari, kalimat yang akhir itu dari Al-Qur’an Surat Al-Ankabut: 46).

Dalam riwayat lain ada yang lebih tegas lagi:

Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Umar bin Khatthab mendatangi Nabi saw dengan kitab yang dia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab, lalu Nabi saw membacanya, maka beliau marah lalu bersabda: ِApakah mereka bingung mengenainya wahai Anak Khatthab.Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh telah aku bawakan dia (pengganti Taurat) dalam keadaan putih lagi suci. Janganlah kalian menanyakan kepada mereka (Ahli Kitab) tentang sesuatu lalu mereka mengabarkan kepada kalian kebenaran maka kamu membohongkannya atau kebatilan maka kamu membenarkannya. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa saw keadaannya hidup maka tidak ada kelonggarannya kecuali ia mengikutiku. (HR Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ad-Darimi dengan lebih sempurna. Hadits ini punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harawi, maka penulis Al-Fikrus Shufi, Abdur Rahman Abdul Khaliq menyebutnya hadits hasan).

Hadits tersebut adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (metode pemahaman) Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak boleh seorang pun mencari petunjuk --untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri-- kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, hatta walaupun dulunya termasuk syari’at yang diturunkan atas salah satu nabi yang terdahulu, bila tanpa pembolehan dari Allah dan rasul-Nya. (Tasawuf Belitan Iblis, hlm. 6).

Masalah Umar membawa-bawa lembaran Taurat itu juga pernah saya tanyakan kepada Nurcholish Madjid 1986 dengan saya sebut ada hadits tentang Umar bin Khatthab dimarahi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti tersebut di atas.

Jawaban Nurcholish terhadap peristiwa yang terdapat dalam hadits itu hanya dengan: Itu saya kira, menurut saya tergantung pada kesempatan, situasi, jadi hadits itu harus dibaca dalam situasi apa, sebab para ulama dahulu itu banyak sekali yang mempelajari Taurat juga, ucap Nurcholish sambil mencontohkan Ibnu Taimiyah.

Jawaban itu, di samping tidak seimbang, karena hadits dijawab dengan ‘Saya kira’, dan juga beralasan adanya ulama yang mempelajari Taurat. Alasan Nurcholish itu sama dengan menjadikan suatu pengecualian sebagai suatu perintah umum. Misal, orang yang sedang mengubur jenazah tidak dilarang menginjak-injak kuburan lantaran agar tanahnya tidak ambleg. Hukum umumnya dilarang duduk di atas kuburan, termasuk menginjak-injak kuburan. Tetapi kasus menginjak-injak kuburan karena sedang menanam jenazah itu pengecualian, sebagaimana ulama yang ingin meneliti penyelewengan-penyelewengan dengan mempelajari Taurat. Itu adalah keadaan khusus. Jadi tidak bisa dijadikan anjuran.

Arah Pembaruan Ke Mana?

Setelah pengertian lafal Al-Islam dilepas dari ikatannya, Ahli Kitab diperluas pengertiannya, musyrikat dipersempit pengertiannya, dan mempelajari kitab-kitab suci lama dianjurkan kepada umum, maka kaum muslimin yang dianjuri oleh Nurcholish Madjid itu mau diarahkan ke mana?

Bukankah khutbah Jum’at nantinya kalau mengikuti saran Nurcholish itu akan menjadi wadah menyuarakan kitab-kitab lama, petuah nenek moyang penyembah berhala, segala macam tetek bengek yang berasal dari warisan lama karena dianggap seluruhnya itu warisan orang-orang yang termasuk ahli kitab?

Demikian pula isi khutbah-khutbah Jum’at, khutbah nikah, khutbah Idul Fitri, Idul Adha, khutbah gerhana bulan dan matahari, majelis taklim, pengajian, kuliah shubuh, dan forum-forum da’wah akan diisi dengan berbagai ajaran agama apa pun yang lama. Termasuk kitab-kitab Tafsir, Hadits, Fiqh, Akhlak, Tauhid, dan lain-lain akan diwarnai di sana-sini dengan ajaran-ajaran kitab suci lama termasuk kitab para penyembah berhala, penyembah binatang seperti sapi, ular dan lainnya.

Kalau sudah demikian, maka ajaran Islam yang dihadirkan dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk membawa Tauhid ke alam raya ini hapus, tak tersisa. Karena sudah berbaur dengan ajaran penyembah-penyembah berhala, penyembah sapi, ataupun ular. Na’udzubillahi min dzaalik




Hermeneutika dan Contoh Bahayanya Ketika Diusung ke Islam



Hermeneutika, Metode Tafsir dari Mitos Yunani, Diadopsi Pihak Yahudi - Kristen Berujud Metode Menafsirkan Bible, Menimbulkan Pecahbelah di Kristen, tapi anehnya kini Diusung oleh Orang-orang tertentu ke Islam, bahkan Diajarkan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits di UIN (Universitas Islam Negeri, dulu IAIN –Institut Agama Islam Negeri) Jakarta dan UIN Jogjakarta.

Dari Tradisi Bible

HERMENEUTIKA (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Filsuf Aristoteles pernah menggunakan istilah ini untuk judul kitabnya, Peri Hermeneias. Kitab itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi De Interpretationne dan kedalam bahasa Inggris, On the Interpretation.

Aristoteles tidak membahas teks atau membuat kritik atas teks. Tapi, ia hanya mengupas peran ungkapan dalam memahami pikiran. Kata benda, kata kerja, ungkapan, dan kalimat yang berkait dengan bahasa menjadi bagian kajiannya.

Dalam perkembangannya, hermeneutika tak lagi dipahami sekadar makna bahasa, tetapi makna bahasa dan filsafat. Para teolog Yahudi dan Kristen menggunakan hermeneutika untuk memahami teks-teks Bible.

Tujuannya, untuk mencari nilai kebenaran Bible tersebut. Para teolog dari kalangan Yahudi dan Kristen mempertanyakan, apakah Bible itu kalam Tuhan atau kalam manusia? Ini karena banyaknya versi Bible dengan pengarang yang berbeda. Ketika hermeneutika dipakai untuk menafsirkan Al-Quran, persoalannya menjadi lain. Soalnya, Al-Quran, oleh umat Islam, dipahami secara bulat sebagai kalam Ilahi. Karena kalam Ilahi, ada hal-hal yang bisa dipahami dan dimengerti, ada juga yang belum bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Bila menemukan hal yang terakhir itu, sikap umat Islam adalah mengimaninya.

Lafal Hermeneutika adalah derivasi (musytaq) dari Bahasa Yunani dari akar kata hermeneuin, artinya menafsirkan. Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-ibaroh (ungkapan). Hermeneias dimaknakan oleh Aristotle dalam karyanya, Kategoriai, bermakna pembahasan tentang peran ungkapan dalam memahami pemikiran, juga tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan (proposition) dan lain-lain yang berkaitan dengan tata bahasa. Jadi semula, Hermeneutika hanyalah melulu mengenai makna bahasa semata.

Kemudian Hermeneutika berubah dari makna bahasa ke makna teologi Yunani, kemudian teologi Yahudi dan Kristen, kemudian kini ke makna istilah filsafat, dan anehnya diusung oleh sebagian orang ke Islam. Tokoh utama pengusung hermeneutika di dunia Islam adalah Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir) yang telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996, juga Arkoun dari Afrika Utara yang kini di Eropa, serta Fazlur Rahman yang harus hengkang dari Pakistan ke Chicago Amerika, guru Nurcholish Madjid dan lainnya. Kalau di Indonesia pengagum teori hermeunetika itu di antaranya adalah rector UIN Jogjakarta Amin Abdullah dengan rekan-rekannya di JIL. Hermeneutika sendiri telah diajarkan di UIN Jakarta dan UIN Jogjakarta .

The New Encyclopedia Britanica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.

Dari mitos Yunani, Hermeneutika itu sendiri dari nama apa yang mereka sebut Dewa Hermes yang bertugas membawakan pesan-pesan Dewa Zeus kepada manusia. Hermes dianggap sebagai anak Dewa Zeus dan Maia (ini keyakinan syirik). Hermes sang anak dewa ini dianggap sebagai penafsir, sebab pesan-pesan itu masih dalam bahasa langit dan perlu perantara yang bisa menafsirkan dan menerjemahkan ke dalam bahasa bumi. Dari fungsi dan peran inilah hermeneutika mulai mendapatkan makna baru sebagai sains atau seni menafsir. Hermeneutika ini berperan menjelaskan teks seperti apa yang diinginkan pembuat teks. Maka mengharuskan tiga komponen: teks, penafsir, dan penyampaian kepada pendengar/ pembaca.

Yunani, masyarakatnya tidak percaya nabi ataupun wahyu, namun percaya pada mitos-mitos dan syair-syair terutama syair Homer dan Hesoid. Penafsiran mitologi dan syair itu tergantung subyektivitas penafsirnya dan kondisi politik keagamaan yang berlaku.

Hermeneutika itu dipengaruhi oleh tiga lingkungan yang secara pandangan Islam sangat bertentangan, yaitu lingkungan kepercayaan:

(1) Yunani yang mitologis (syirik)
(2) Yahudi dan Kristen yang maghdhub dan dhoollin (yang setiap umat Islam sholat setiap roka’atnya selalu membaca Al-Fatihah yang akhirnya memohon kepada Allah swt agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang maghdhub dan dhoollin itu, lalu disunnahkan membaca aamien, semoga Allah mengabulkan).
(3) Eropa yang laa diini, sekuler dan mau melepaskan diri dari agama.

Kemudian ketika Kristen mengadopsi hermeneutika maka terjadi perpecahan antara yang menganut penafsiran literal dan penganut alegoris/ kiasan. Pihak Kristen Protestan memakai lietaral dengan semboyan Sola Scriptura, bahwa Bible itu sendiri telah merupakan petunjuk yang cukup jelas untuk memahami Tuhan. Sedang Katholik Roma melaui Konsili Trent (1545) menolak prinsip Protestan itu dan mendukung teori dua sumber keimanan dan teologi Kristen yakni: Bible dan Tradisi Kristen.

Dalam Kristen, kitab sucinya itu sendiri mengalami problem-problem:
(1) problem otentisitas teksnya
(2) problem bahasanya
(3) problem kandungannya

Di samping itu, kitab sucinya itu sendiri mengandung pula keterangan hal-hal yang ghaib. Sementara itu masyarakat Barat adalah rasional dan tak percaya hal ghaib, namun bukan berarti tak ada takhayul.

Lalu hermeneutika itu untuk menjembatani probema antara teks yang di antara isinya ada hal-hal ghaib, dengan masyarakat yang mengandalkan rasionalitas, tak mau mengakui yang ghaib.

Akhirnya para pemakai hermeneutika mengalami kebingungan, apakah mau mengikuti teks Bible yang sifatnya ada keghaibannya atau ikut masyarakat Barat yang tak percaya ghaib alias rasionalitas. Sampai abad 17, Protestan dan Katholik masih berpihak kepada teks Bible, sehingga menolak penemuan Johanes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624). Jadi sampai awal abad pertengahan, Hermeneutika masih pada sangkar teologi Kristen dan di bawah pengaruh mitologi Yunani.

Ketika teks bible sendiri mulai digugat dan otoritas gereja mulai goyah, pengaruh pandangan hidup ilmiah dan rasional Barat mulai muncul membawa hermeneutika kepada makna baru yang filosofis.

Hermeneutika bukan berasal dari tradisi pengkajian dan pemahaman Bible, tapi metode asing yang diadopsi untuk merekayasa teks Bible yang menghadapi problem orisinalitas.

Ketika hermeneutika masuk dan membawa makna baru yang filosofis, artinya percaturan problem yang dihadapi berupa pemecahan problem antara isi kandungan Bible yang mengandung mitos dan hal ghaib, dengan tradisi Barat yang rasionalistis tak percaya ghaib, bisa dianggap bahwa tradisi Barat sama dengan telah bisa menundukkan Bible itu sendiri lewat hermeunetika. Meskipun demikian, bukan berarti hermeneutika falsafi ini satu, namun banyak macamnya.

Masalahnya, hermeneutika falsafi itulah yang diusung oleh orang-orang yang mengaku Islam untuk menafsiri al-Qur’an, As-Sunnah, bahkan Fiqh dan ajaran-ajaran Islam pada umumnya.

Contoh kerancuan ketika hermeneutika diusung orang ke Islam

Hermeneutika falsafi itu bermacam-macam. Kalau diambil salah satunya berarti menolak yang lain, dan itu kalau untuk mengkaji / menafsiri Al-Qur’an, berarti telah masuk pula pada “madzhab hermeneutika” tertentu, yang artinya tidak akan obyektif pula.

Dr Ugi Suharto dosen di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) IIUM Kuala Lumpur secara cermat mengemukakan:

Ambil contoh Fazlur Rahman. Dia lebih setuju kepada hermeneutika Betti ketimbang hermeneutika Gadamer. Namun dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Kalau begitu, apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut “Hermeneutic circle”, yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman obyek-obyek sejarah yang mengatakan bahwa “jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan”. Akibatnya adalah, pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi Al-Qur’an, maka selama-lamanya Al-Qur’an tidak akan pernah dapat dimengerti dan dipahami.

Kemudian Dr Ugi Suharto menandaskan:

Di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada ushul ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayat-ayatnya adalah qoth’iy al-tsubut al-wurud. Dan bagian-bagiannya ada yang menunjukkan qoth’iy al-dilalah ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma’lum min al-din bi al-dhoruroh. Ada sesuatu yang ijma’ mengenai al-Qur’an, dan ada yang difahami sebagai Al-Qur’an yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah ajaran Al-Qur’an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang ushul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaghoyyarot, yang qoth’iy menjadi dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin menjadi dhonn bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas. (Islamia, vol 1, 2004, halaman 52).

Lebih jelas Dr Ugi mengemukakan:

Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman shophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa “all understanding is interpretation” dan karena interpretasi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itupun menjadi subyektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apapun dengan secara objektif.

Selanjutnya, Ugi mengemukakan, “…Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur’an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai Al-Qur’an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing.” (Islamia, vol 1, 2004, hlm 52).

Sebagai kesimpulan, ulas Ugi, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir ataupun takwil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur’an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang dhahir dari al-Qur’an dan menganggapnya sebagai problematic. Di antara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya keragu-raguan terhadap mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi’ah, sebagai “tekstus recheptus” (teks yang telah disepakati).

Keinginan Mohammad Arkoun, misalnya, untuk men-“deconstruct” Mushaf Utsmani adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermenetika akan mementahkan kembali aqidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah.

Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah “both the word of God and the word of Muhammad” adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin dan hanya menurunkan derajat validitas Al-Qur’an seolah-olah sama dengan kitab yang lain.

Analisis Dr Ugi Suharto itu sejalan dengan pendapat Roem Rowi guru besar tafsir IAIN Sunan Ampel yang tamatan Al-Azhar, Kairo, Mesir. “Menurut saya, cara memahami Al-Quran yang bukan dari umat Al-Quran perlu diwaspadai,” katanya. Menurut Roem, “cara penafsiran dengan memberi toleransi pada interpretasi keluar dari teks akan menimbulkan penyimpangan. kontroversinya, ada pemaksaan konteks kekinian dengan teks Al-Quran,” ujarnya.

“Pemaksaan budaya pada teks-teks Al-Quran,” masih kata Roem, akan mengakibatkan adanya tabrakan frontal dengan maksud Al-Quran yang standar. Makanya, bisa terjadi fikih Indonesia dan fikih-fikih kedaerahan,” katanya.

Roem lalu memberi contoh akibat dari tafsir hermeneutika ini. Yaitu “diperbolehkannya kawin campur dan hukum waris yang besarannya sama. Meskipun Al-Quran sudah memortal dengan berbagai dalil, tafsir hermeneutika menjebol kehendak teks,” ujar Roem.

Contoh nyata

Sekarang ada Gerakan Sistematis yang di antara kerjanya membuat keraguan tentang kemurnian Al-Qur'an. Gerakan itu secara aktif menulis di berbagai media massa termasuk internet, di samping menyebarkan penghujatan akan kemurnian Al-Qur’an lewat buku.

Mereka bekerja secara sistematis, terprogram, terorganisir, bahkan lewat jalur intelektual tingkat akademis. Di antaranya mereka berada di lembaga-lembaga JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Paramadina. Sedang jalur-jalur untuk menyebarkan faham tersebut di antaranya Majalah Syir'ah, Kantor Berita Radio 68H, Koran Jawa Pos dengan cabang-cabangnya (koran daerah sekitar 40-an koran), pencetakan buku, dan website Islamlib.com milik JIL.

Sebagai contoh bukti, di antaranya:

(1) Tulisan Luthfi Assyaukanie dosen Paramadina Jakarta (Merenungkan Sejarah Al-Qur’an dimuat di website islamlib.com, 17 November 2003).
(2) Tulisan Luthfi Assyaukanie dosen Paramadina Jakarta (Sejarah Al-Qur’an Rejoinder, dimuat di islamlib.com, 8 Desember 2003, sebagai pembelaannya terhadap tulisan no.1).
(3) Tulisan Taufiq Adnan Amal dosen IAIN Makassar (Al-Quran Edisi Kritis, dimuat di islamlib.com, 28/10/ 2001, juga dimuat di buku tentang JIL)
(4) Tulisan Taufiq Adnan Amal dosen IAIN Makassar (Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi, dimuat di islamlib.com, 25/11/ 2001).
(5) Buku karangan Taufiq Adnan Amal dosen IAIN Makassar berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an terbitan FKBA (Forum Kajian Budaya dan Agama), Jogjakarta, 2001.
(6) Laporan Majalah Syir’ah, Pembaruan al-Qur’an ala Indonesia (Syir’ah Vol 2, No 3, tanggal 25 Januari- 25 Februari 2002). Dalam laporan itu dikutip pendapat Taufik Adnan Amal, di antaranya sebagai berikut:

“Berdasarkan temuan kontemporer yang diangkat beberapa pemikir terkemuka Timur Tengah, terdapat salah satu ayat yang tidak berbunyi “innad dina ‘indallah al-Islam” tetapi “innad dina ‘inda Allah al-hanifiyyah”.

“Pada versi pertama, kata Islam kan dimaknai sebagai yang bersifat antropologis atau sekadar Kartu Tanda Beragama (KTB) yang dari sini muncul klaim bahkan menyalahkan agama yang lain ataupun berbuntut kebencian dan pertikaian antara agama. Yang kedua, kata al-hanifiyyah yang berarti sikap kepatuhan dan kepasrahan lebih menunjukkan wajah Islam yang toleran dan damai, dan ini sangat kontekstual dengan kondisi masyarakat kita saat ini,” ungkapnya.

Walhasil, Mushaf al-Qur’an yang menjadi pegangan umat Islam secara luas termasuk yang disosialisasikan Depag sejak 1984 tidak lain adalah Mushaf hasil kodifikasi Khalifah Utsman. Dan apakah upaya Departemen Agama ini akan tidak berefek negatif bagi umat Islam seperti terjadi pada masa Utsman?

Bisa dilihat pula contoh nyata akibat mengusung hermeneutika di antaranya:
Buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina Jakarta 2003.

Islam liberal ingin menjadikan kitab suci Al-Qur’an seperti kitab injil yang ditulis dengan berbagai bahasa.

Kutipan:
“Dalam menajam komitmen toleransi dan pluralisme fiqh, diperlukan hermeneutika yang setidaknya bisa melakukan perubahan yang sangat mendasar dalam tradisi fiqh klasik.

Pertama: Mengimani teks sebagai produk budaya. Teks dan budaya adalah dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Tatkala bicara tentang teks, sebenarnya bicara tentang budaya, juga sebaliknya. Karenanya, perlu dilakukan dekontruksi keyakinan teologis dan eksistensi teks sebagai wahyu Tuhan, menjadi wahyu yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya.

Kedua: Mengimani sebagai wahyu progresif sehingga tidak menjadi Ideologis dan dijadikan alat justifikasi kekuasaan politik. Apabila terdapat pertentangan antara teks dan problem kemanusiaan, maka dengan sendirinya teks tidak dapat dipergunakan.

Ketiga: Mengimani adanya paradigma emansipatoris yang sejalan dengan komitmen wahyu, seperti Al Qur’an sebagai teks terbuka, kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, pembebasan, kesetaraan, keadilan gender, tidak diskriminatif.

Tanggapan:
Pernyataan pertama, kedua dan ketiga yang dikutip di atas adalah pernyataan iblis yang mensejajarkan antara teks al Qur’an dan budaya manusia seperti dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan.

Teks Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril, sedangkan budaya adalah hasil dari budi dan daya manusia. Teks Al-Qur’an adalah kalamullah bersifat Ilahiyyah sedangkan budaya adalah hasil budi daya manusia yang bersifat duniawi. Saya kira, hanya para budak Orientalis serta budak kuffar saja yang berani menyamakan antara teks al Qur.an dengan budaya manusia, apalagi berani mengatakan bahwa al Qur’an sebagai teks terbuka yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya.. Para budak Orientalis ini bukan tidak tahu/ tidak pernah membaca ayat Al Qur’an yang berbunyi:

Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat KU dan telah Kuridloi Islam itu menjadi agama bagimu ( Al Maidah ayat 3 ).

(Demikian tanggapan M Amin Djamaluddin, ketua LPPI di Jakarta).

Akar masalah


Hermeneutika itu sendiri dari warisan mitos Yunani.


Hermeneutik itu ketika masuk ke Yahudi dan Kristen untuk menafsiri Bible menimbulkan kekacauan.
Hasil dari kekacauan yang ditimbulkan hermeneutic adalah kemenangan tradisi Barat yang sekuler dan mau lepas dari agama.
Kemenangan tradisi Barat itu membawa hermeneutic menjadi falsafi, dan muncul berbagai corak hermeneutic falsafi.


Setelah muncul hermeneutic berbagai ragam falsafi, dan semuanya itu keluar dari kandang mitos Yunani, ke Yahudi- Kristen, dan kemudian berpihak ke tradisi Barat yang laa diinii alias sekuler dan mau lepas dari agama, maka ketika orang dari kalangan Islam mengadopsi hermeneutika yang falsafi jenis manapun tetap tidak akan cocok dengan Islam. Demikian pula bila mengambil hermeneutika yang memihak Yahudi -Kristen, sama sekali tidak akan menambah apa-apa terhadap Islam kecuali kerusakan.


Pengadopsian hermeneutic ke Islam dengan dalih untuk ini dan itu, tidak lain hanya akan menirukan penghancuran aqidah yang telah dialami oleh Yahudi dan Kristen dan dimenangkan oleh Barat.


Kini telah digencarkan pembelajaran teori hermeneutic di IAIN/ UIN di Indonesia, dipelopori rector IAIN /UIN Jogjakarta, Amin Abdullah dan sampai mendatangkan dedengkotnya dari Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd yang sudah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir. Kehadiran Nasr Hamid Abu Zayd di Jakarta itu dielu-elukan oleh pihak-pihak IAIN, UIN, JIL, Lakspedam NU, ICIP (selaku pengundang, lembaga yang diketuai Syafi’I Anwar bekas pemimpin redaksi majalah (yang sudah mati) Ummat (majalah orang-orang Republika dan kelompok Syi’ah plus sekuler di Jakarta), yang lembaga ICIP itu salah satu dari 44 lembaga di Indonesia yang dibiayai The asia Foundation yang berpusat di Amerika (baca buku Hartono Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Darul Falah, Jakarta, 2004).. Nasr Hamid Abu Zayd yang divonis murtad di Mesir dan isterinya pun difasakh itu kemudian jadi guru besar di Leiden Belanda, dan diusung untuk ceramah di berbagai tempat di Indonesia September 2004, masih pula diulas-ulas di berbagai media massa.


Di antara bahaya hermeunetic, telah disandang oleh Nasr Hamid Abu Zayd yang mengatalkan bahwa Al-Qur’an adalah muntaj tsaqofi, produk budaya. Di Indonesia, muncul buku Fiqih Lintas Agama oleh Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid dengan dana dari The Asia Foundation, 2003. Isinya mengatasnamakan hukum Islam, namun menentang ayat-ayat terutama ayat yang menegaskan hanya Islamlah agama di sisi Allah, larangan menikah dengan musyrikin/musyrikat dan kafirin, serta larangan waris mewarisi antara muslim dan kafir. Semuanya itu ditolak. Bahkan lebih gila lagi, buku Draf Kompilasi Hukum Islam yang disusun Tim Gender Departemen Agama pimpinan Dr Musdah Mulia (wanita) itu menentang hukum-hukum Islam, di antaranya lelaki pun dikenai iddah 130 hari, poligami dilarang, tapi nikah mut’ah boleh, waris lelaki dan perempuan sama, dan mahar juga dibayar oleh wanita, sedang hak talak juga dipegang wanita pula. Sementara itu dosen ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, Taufiq Adnan Amal, menulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, isinya meragukan kemurnian mushaf Utsmani, lalu dikemukakan bahwa ada penemuan di Timur tengah, ayat Innad dien indallohil Islam itu dengan lafal innad diina indallohi alhanifiyyah. Ini tanpa sumber, tetapi langsung dikomentari di Majalah JIL, Syir’ah, bahwa ayat hanifiyyah itu lebih sesuai dengan semangat beragama yang pluralis sekarang.



Kesimpulan:


1. Hermeneutika tidak dibutuhkan oleh Islam, karena Islam telah cukup dengan ilmu tafsir, ulumul Qur’an, dan ilmu-ilmu perangkat lainnya, bahkan secara ujud nash (Al-Qur’an) dan matan hadits tidak mengalami problem apa-apa (tanpa kekurangan perangkat ilmu untuk mengkajinya, karena sudah terbentuk secara rapi sejak dini, bukan seperti Bible).


Orang-orang yang mengusung hermeneutika ke dalam ilmu Islam sudah ada yang dinyatakan murtad oleh Mahkamah Agung Mesir, yakni Dr Nasr Hamid Abu Zayd terutama karena karyanya, mafhum al-nashsh, yang dia menganggap Al-Qur’an sebagai muntaj tsaqofi, produk budaya.


Para pengusung hermeneutika di Indonesia telah memproduk karya-karya yang menjauhkan umat Islam dari agamanya, bahkan meragukan Al-Quran. Buku Fiqih Lintas Agama, buku Draf Kompilasi Hukum Islam, dan buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an adalah produk-produk yang membahayakan bagi aqidah umat Islam.


Pengajaran hermeneutika di UIN Jakarta dan Jogjakarta (yang mungkin juga di IAIN lainnya) bisa dinilai sebagai penanaman racun kepada generasi muda Islam, yang akan membahayakan bagi pemahaman Islam masa depan. Pengajaran hermeneutika, apapun jenisnya, apakah itu yang masih mitologi Yunani, atau yang sudah diadopsi Kristen, atau pun yang falsafi, semuanya bukan sekadar tidak diperlukan oleh Islam, namun justru akan merancukan pemahaman Islam, bahkan menghancurkan Islam secara sistematis langsung ke sumber murninya, yaitu wahyu Allah SWT yang dinilai sebagai sekadar teks biasa, dan boleh ditafsiri siapa saja, takkan ada kesamaan penafsiran satu sama lain. Akibatnya, buyarlah Islam ini.



Hermeneutika dan Dzatu Anwath

Nasr Hamid Abu Zayd menganggap Al-Qur’an sebagai muntaj tsaqofi, produk budaya. Dia juga mengusung metode penafsiran Bible yakni hermeneutika, namun anehnya metode yang sama sekali tak ada kaitannya dengan Al-Qur’an itu diajarkan di beberapa UIN dan IAIN untuk menafsiri Al-Qur’an. Padahal Nabi Muhammad saw telah marah kepada Umar bin Khatthab ra ketika membawa selembar kertas berisi Taurat, dan Nabi saw menegaskan bahwa wahyu yang beliau bawa lebih suci, bahkan seandainya Musa as masih hidup pun tidak ada kelonggaran lagi kecuali mengikuti Nabi Muhammad saw. Itu saja tentang wahyu (Taurat), bukan sekadar metodenya untuk memahami teksnya yang mereka sebut hermeneutik yang diambil dari nama dewa Yunani, Hermes, dalam kepercayaan kemusyrikan.

Kenapa sudah ada Al-Qur’an, ulumul Qur’an, tafsir, dan ilmu tafsir, tapi orang-orang liberal itu masih mau menjejalkan hermeneutik yang ternyata tidak bisa menyelesaikan problem teks Bible? Aneh! Bagai Bani Israel zaman Nabi Musa as yang diberi makanan oleh Allah SWT dari langit berupa manna dan salwa, tetapi mereka malah menginginkan brambang bawang dan adas yang bau-bau itu. Bani Israel generasi moyang rupanya sikap buruknya diadopsi oleh antek-antek Bani Israel zaman sekarang. Juga sebagaimana umat Nabi Muhammad saw sudah diberi ajaran Tauhid yang murni, bersih, namun ada yang minta dibuatkan kepercayaan syirik, yaitu kepercayaan kepada dzatu anwath (pohon tempat mengalungkan senjata dengan kepercayaan nantinya akan menang perang akibat pengalungan senjata di pohon itu) sebagaimana yang dilakukan orang musyrik. Dalam hadits diriwayatkan:

Dari Abu Waqid Allaitsi bahwa Rasulullah saw ketika keluar ke Hunain melewati pohon milik musyrikin yang dikatakan baginya dzatu anwath, mereka (musyrikin) menggantungkan senjata-senjata mereka di atasnya. Lalu para sahabat berkata, Ya Rasulallah, buatkan untuk kami dzata anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath. Maka Nabi saw bersabda: "Subhanalloh, ini seperti kaum Musa berkata, 'buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan'. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, pasti benar-benar kamu akan mengikuti jalan orang sebelum kamu." Abu Isa berkata, ini hadits hasan shahih. (HR At-Tirmidzi).

Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi syarah Sunan At-Tirmidzi, hadits itu dijelaskan: Ketika Nabi saw keluar, artinya dari Makkah --sebagaimana dalam riwayat Ahmad—ke Hunain, tempat antara Thoif dan Makkah. Dzatu Anwath yaitu nama pohon itu sendiri yang orang musyrikin mengalungkan senjata-senjata padanya dan beri'tikaf (duduk khusyu') di sekitarnya, lalu para pengikut Nabi saw memintanya untuk membuatkan hal yang sama dengannya untuk mereka. Maka Nabi saw mencegah mereka dari yang demikian itu.

Dalam hadits Abi Sa'id, menurut Al-Bukhori: "Pastilah kalian benar-benar akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, dan selengan-demi selengan, sehingga seandainya mereka masuk lubang biawak pastilah kalian mengikuti mereka." Kami bertanya, wahai Rasulalloh, Yahudi dan Nasrani?" Beliau bersabda: "Siapa lagi?" (kalau bukan mereka)? (HR Al-Bukhari).

Dan diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas, pada akhirnya: "Dan sampai-sampai seandainya salah satu dari mereka menyetubuhi isterinya di jalan pasti kamu sekalian mengerjakannya (pula)." Al-Munawi berkata, sanadnya shohih. Lafal as-sunnah artinya jalan baik ataupun buruk. Maksudnya di sini adalah jalan ahli ahwa' wal bida' / hawa nafsu dan bid'ah yang mereka ciptakan dari arah diri mereka sendiri setelah nabi-nabi mereka berupa perubahan agama mereka dan penyelewengan kitab mereka sebagaimana telah datang atas Bani Israil bagai peniruan sandal dengan sandal. An-Nawawi berkata: Maksudnya adalah mencocoki dalam maksiat-maksiat dan penyelewengan-penyelewengan (mukholafat) bukan dalam kekufuran, dan dalam hal ini adalah mu'jizat yang nampak bagi Rasulullah saw

Maka sungguh telah terjadi apa yang beliau saw khabarkannya. Hadits ini hasan shahih dan dikeluarkan pula oleh Ahmad dalam musnadnya. Hadits Abu Hurairah diriwayatkan Al-Bukhari, marfu' / periwayatannya sampai pada Nabi saw: "Tidak datang qiyamat sehingga ummatku mengambil dengan pengambilan generasi-generasi (qurun) sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan selengan demi selengan." Maka ditanyakan, wahai Rasulullah, seperti Parsi dan Romawi? Beliau menjawab: "Dan siapa lagi manusia kecuali mereka?"

Dalam kasus orang-orang liberal mengambil hermeneutika untuk diadopsi sebagai metode tafsir teks ayat dalam Islam, bahkan diajarkan di beberapa IAIN dan UIN, ini benar-benar meniru orang-orang di luar Islam. Pertama hermeneutika itu sendiri dari Yunani lalu dimasukkan dalam mitologi Yunani, kemudian diadopsi ke Kristen dengan teologi Kristen, lalu diadopsi Barat dengan filsafat Barat menjadi hermeneutika falsafi.

Setelah Barat mampu menundukkan agama Kristen dengan hermenetika falsafi itu kemudian hermeneutika falsafi inilah yang diadopsi oleh orang-orang yang mengaku Islam di antaranya Fazlurrahman orang Pakistan yang hengkang dari negerinya ke Chicago Amerika (guru Nurcholish Madjid dan teman-temannya), Arkoun orang Afrika Utara yang hengkang ke Eropa, Nasr Hamid Abu Zayd yang telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1966 lalu hengkang ke Belanda, dengan pengagum-pengagum di Indonesia seperti Amin Abdullah rector UIN Jogjakarta dan orang-orang liberal yang gerah dengan jasa para ulama tafsir di dunia Islam hingga ingin menggantinya model penafsiran yang mengikuti metode hermeneutika yang telah terbukti membuat kekacauan di Kristen itu sendiri.

Di Kristen, dengan pakai metode hermeneutika itu maka telah terjadi kekacauan yaitu pecahnya orang Kristen jadi dua: Kristen dan Katolik. Kristen memakai hermeneutika literal (hakiki/ makna harfiyah sebenarnya) berhadapan dengan Katolik yang cenderung pakai hermeneutic alegoris alias majazi/ kiasan. Lalu dua-duanya, Kristen dan katolik itupun dilibas oleh Barat yang pada dasarnya sekuler (laa diini) dan mau melepaskan diri dari agama. Pelibasan Barat terhadap Kristen dan Katolik itupun pakai hermeneutic yaitu hermeneutic falsafi model Barat yang sebenarnya anti agama itu.

Barat yang telah berhasil melibas agama Katolik dan Kristen pakai hermeneutika falsafi itulah yang kini punya agen-agen dan kaki tangan di dunia Islam untuk melibas Islam lewat hermeneutika sebagaimana yang telah dilakukan Barat. Maka para pengekor Barat di kalangan Muslimin itu pada dasarnya adalah orang-orang berbahaya yang telah disinyalir oleh Nabi saw, dalam kasus di atas adalah orang-orang yang menawar untuk minta dibuatkan dzatu anwath sebagaimana milik musyrikin. Namun Nabi saw menolaknya dengan ucapan sumpah yang tegas, diibaratkan pengikut Nabi Musa as yang minta dibuatkan tuhan sebagaimana orang-orang musyrikin memiliki tuhan-tuhan. Di samping itu, para agen Barat itu sebagai orang-orang yang –disadari atau tidak-- akan bertugas melibas Islam sebagaimana kesuksesan Barat melibas agamanya. Akhirnya, otak dan hawa nafsu merekalah yang dijadikan tuhan, dan itu dalam Islam disebut sebagai orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.

Barat yang menjadikan hawa nafsu dan otaknya sebagai tuhannya itu mereka berkendaraan teori antrophosentrisme, yaitu manusia inilah yang jadi pusat pertimbangan. Ketika diaduk dengan humanisme, lalu dimunculkan secara internasional dengan istilah apa yang mereka sebut HAM (hak-hak asasi manusia). Dalam berkendaraan politik maka mereka memakai apa yang mereka sebut demokrasi, yang kalau dipakai oleh Muslimin, lalu di kala pemilihan umum tahu-tahu yang menang partai Islam, maka justru hasil pemilu itu ditolak, bahkan partai Islamnya itu sendiri dibubarkan. Contohnya adalah kasus di Al-Jazair dengan partai Islam FIS (Front Islamique du Salut/ Front Penyelamatan Islam) atau Jabhatul Inqodhil Islami. Setelah FIS menang pemilu maka justru kemenangannya tak diakui, bahkan ribuan tokoh dan anggota FIS diuber-uber ditangkapi. Kemudian FIS itu sendiri dilarang tahun 1992 Dan kasus pemilu di Turki yang dimenangkan Partai Islam Refah, tapi justru akhirnya Partai Refah itu sendiri dilarang tahun 1998. Semua itu peran Barat di dunia ini sangat campur tangan. Sehingga dunia ini ditekan untuk mengikuti hawa nafsu mereka. Dan itulah orang-orang yang menuhankan hawa nafsunya dan mengejar kepentingan dunia dengan mengikuti nafsu rendahnya. Orang model itu menurut penilaian Allah swt telah sesat dan diumpamakan bagai anjing.

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS Al-Jaatsiyah: 23).

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS Al-A'raaf: 176).

Pengusung Hermeneutika, Nabi Palsu Musailamah Al-Kaddzab, Penyeleweng, Munafiqin, dan Ruwatan

Para agen Barat yang dalam hal ini mengusung hermeneutika untuk dijadikan alat menghalau Islam dari pemahaman yang benar, bila ditilik dari rekadaya orang yang mengaku Islam zaman Nabi saw dan masa Abu Bakar Shiddiq adalah para pengikut Nabi Palsu Musailamah Al-Kaddzab. Satu sisi mereka masih mengaku Islam, tetapi satu sisi lainnya mereka mengikuti nabi palsu sang pendusta. Maka dikenal syahadat mereka adalah wa asyhadu anna muhammadan wa musailamatan rosulaa (dengan lam alif) Lloh, maksudnya bersaksi bahwa Muhammad dan Musailamah adalah dua orang utusan Alloh. Atau justru bagai pengusung kebatilan yang tidak terang-terangan hingga tidak dicegah oleh khalifah dan kaum Muslimin, berbeda dengan Musailamah Al-Kaddzab dan pengikutnya kaum murtadin yang diperangi oleh Khalifah Abu Bakar dengan 10.000-an tentara Muslim saat itu. Atau bagaikan munafiqin yang menyembunyikan kekufuran sambil merusak Islam. Atau orang-orang yang mengusung kesesatan karena terpengaruh oleh filsafat. Itu semua dijelaskan tipe-tipe atau karakternya oleh Imam Ibnu Taimiyyah.

Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya, Bughyatul Murtad, menjelaskan sebagai berikut:

Dan telah diketahui bahwa pengikut-pengikut Musailamah Al-Kaddzab (sang pendusta), Al-Aswadul 'Anasi, Tholhah al-Asadi, dan Sajjah, mereka adalah orang-orang murtad dan telah diperangi oleh para sahabat Rasulullah. Hanya saja Musailamah sesungguhnya hanyalah mendakwakan diri bersekutu dalam kenabian, tidak mengaku sebagai tuhan, dan dia tidak membawa Al-Qur'an merusak tauhid tetapi membawa perkataan yang mengandung apa yang dia akui kebersamaan dalam kerasulan dan membawa sajak-sajak berupa kalimat-kalimat yang tak berguna. Oleh karena itu Abu Bakar berkata kepada sebagian Bani Hanifah (para pengikut Musailamah Al-Kaddzab) dan dia minta mereka membaca sebagian Qur'an Musailamah. Ketika mereka membacakannya, Abu Bakar berkata: Celaka kalian, ke mana dia menghilangkan akal kalian? Sesungguhnya kalam/ ucapan (sajak Musailamah) ini tidak keluar dari Tuhan.

Yang demikian itu contohnya ucapan Musailamah:

"Wahai kodok binti dua kodok, sucikanlah apa yang kau sucikan.
Tidak ada air yang kau keruhkan dan tidak ada peminum yang kau larang.
Kepalamu di air dan pantatmu di tanah."

Dan ucapan Musailamah:

"Demi petani yang menanam tanaman,
demi pemanen yang memanen panenan,
demi pembuat adonan yang membuat adonan,
demi tukang roti yang membuat roti dengan lemak dan minyak samin.
Sesungguhnya bumi ini antara kami dan Quraisy adalah dua belah,
tetapi Quraisy adalah kaum yang tidak adil."

Dan ucapan Musailamah:

"Demi gajah.
Tahukah kamu apa itu gajah?
Dia punya belalai yang panjang.
Sesungguhnya yang demikian itu
dari ciptaan tuhan kami yang maha agung."

Ketika Musailamah menulis kepada Rasulullah:

"Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah.
Amma ba'du. Sesungguhnya aku bersekutu dalam satu urusan besertamu."

Lalu Nabi saw menulis, beliau berkata:

"Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah Al-Kaddzab (sang pendusta).
Amma ba'du, sungguh seandainya kamu minta kepadaku putihnya ini maka aku tidak memberikannya kepadamu."

(Lalu Ibnu Taimiyyah menjelaskan):
Barangsiapa mendakwakan diri bahwa dia beriman kepada apa yang dikatakan mereka (orang-orang batil yang mengaku langsung bicara dengan Allah atau mengambil dari malaikat, -- ini kembali ke halaman buku Ibnu Taimiyyah sebelumnya) walaupun mengikuti Rasul dalam syari'at-syari'atnya disertai bergabungnya pada Rasul dalam kesaksian yang demikian itu, lalu dia (si pengaku yang batil ini) berada di atas (derajat) Rasul dalam hakekat dan pengetahuannya kepada Allah karena dia (si batil) mengambil dari malaikat yang memberi wahyu kepada Rasul, maka tidak diragukan lagi bahwa ucapan ini lebih besar dustanya dibanding ucapan Musailamah Al-Kaddzab, tetapi mereka tidak menjadi golongan yang terlarang secara langsung dan tak diperangi oleh Muslimin, bahkan mereka menyepakati secara lahir bahwa tidak ada utusan (terakhir) selain Muhammad, dan kebanyakan pengikut kelompok ini tidak tahu bahwa itu adalah ucapan pemimpin mereka, kemudian di antara mereka ada kaum munafik yang tidak menampakkan hal itu kepada kalangan Muslimin, berbeda dengan Musailamah yang menampakkan dakwaan kenabiannya sehingga muadzinnya mengatakan: Asyhadu anna Muhammadan wa Musailamatan Rasuulaa Lloh (saya bersaksi bahwa Muhammad dan Musailamah adalah dua orang utusan Alloh).

Selanjutnya Imam Ibnu Taimiyyah mengungkapkan:
Di antara mereka ada orang yang batinnya lebih kafir dibanding musyrikin, lebih dari Ahli Kitab. Di antara mereka ada kaum yang membaca kitab-kitab yang menyimpan kekufuran itu secara terang-terangan, tetapi kadang-kadang mereka tidak memahami kekafiran yang ada di dalamnya. Telah berkata kepadaku syeikh mereka di diyar Mesir, ketika aku memberitahukannya apa yang ada di sebagian kitab ini seperti topic ini dan lainnya, maka dia berkata, ini kekufuran. Tetapi dia berkata kepadaku di majlis yang lain, kitab ini di sisi kami sudah 40 tahun, kami mengagungkannya dan pemiliknya pun mengagungkannya. Tidak ada yang menyatakan kepada kami musibah-musibah ini kecuali kamu.

Di antara mereka ada kelompok yang kadang tidak bersengaja bohong tetapi tercampur kesesatan pada mereka karena mereka mengira bahwa Rasul tidak tahu hakekat, dan beliau hanyalah tahu ilmu amal yang tampak, dan kawan-kawan mereka dari kalangan yang terfilsafatkan bergabung dalam hal kesesatan itu mengenai hal-hal semacamnya, maka kamu dapati mereka tidak memegangi perkara-perkara ilmiah dan masalah-masalah khabariyah dari Alloh Ta'ala, nama-namaNya dan sifat-sifatNya berdasarkan Kalamullah dan Rasul-Nya. Inilah di antara pokok-pokok kesesatan yang terjadi pada kelompok itu atau di sebagian kelompok dari kalangan yang menyeleweng dan munafiqin.

Aneka rupa jenis penyeleweng dan faham-fahamnya telah ada sejak dulu. Para penyeleneh yang dibicarakan di sini tampaknya menambah varian dalam model-model penyelewengan. Bisa mirip sana dan bisa pula mirip sini dan situ. Karena mereka memang mencomot dari mana-mana, sebagaimana Ulil Abshar Abdalla pernah mengaku mengais-ngais dari barat dan timur. Semua itu cukup dicakup dalam ayat:

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS Al-Maaidah: 50).

Yang dikais-kais dari barat dan timur itu adalah pendapat-pendapat yang dilontarkan orang-orang kafir. Sedangkan Al-Qur’an telah memberikan pensifatan bahwa orang-orang kafir itu wali-walinya adalah thaghut/ syetan yang mengeluarkan dari cahaya kepada kegelapan.

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqoroh: 257).


Mitos Yunani Hermeneutika dan Mitos Sini Ruwatan

Sekadar contoh sesatnya mitos Yunani tentang Hermes (yang kemudian dijadikan nama metode hermeneutika) bisa kita bandingkan dengan sesatnya mitos dari Timur tentang Betoro Kolo (yang menjadi adat kemusyrikan bernama ruwatan).

Hermes menurut mitos Yunani adalah dewa yang jadi utusan dewa-dewa untuk menyampaikan pesan ke bumi hingga dianggap sebagai penyampai dan penafsir pesan dewa-dewa. Hermes dianggap sebagai anak Dewa Zeus dan Maia. Selain sebagai penafsir pesan dewa-dewa, Hermes juga dewa pencuri dan penjudi. Namun kemudian dari nama dan tugas menyampaikan pesan itu kemudian dibuatlah metode hermeneutika bermuatan mitologi Yunani, lalu diadopsi Yahudi dan Kristen sebagai metode penafsir Bible, kemudian diusung oleh orang-orang tertentu yang mengekor ke Barat untuk dimasuk-masukkan ke Islam, untuk dijadikan metode penafsiran Al-Qur’an.

Coba mitos tentang Hermes dari barat (Yunani) yang kemudian jadi metode hermenetika itu kita bandingkan dengan mitos dari timur tentang Betoro Kolo yang kemudian jadi upacara kemusyrikan ruwatan.

Ruwatan

Ruwatan itu kepercayaan non Islam berlandaskan ceritá wayang. Ruwatan artinyá upacará membebaskan ancaman Batoro Kolo, raksasá pemakan manusia, anak Batoro Guru/ rajá pará dewa. Batoro Kolo adalah raksasá buruk jelmaan dari spermá Batoro Guru yang berceceran di laut, setelah gagal bersenggamá dengan permaisurinya, Batari Uma, ketiká bercumbu di langit sambil menikmati terang bulan.

Makanan Batoro Kolo adalah manusiá yang dilahirkan dalan kondisi tertentu, seperti kelahiran yang menurut perhitungan klenik akan mengalami sukerto atau menderita .Jugá yang lahir dalam keadaan ontang-anting, (tunggal, ) kembang sepasang, (kembar), sendang apit pancuran (laki, perempuan, laki), pendowo limo (5 laki-laki semua) dll.

Itulah kepercayaan musyrik/ menyekutukan Allah SWT yang berlandaskan ceritá wayang penuh takhayyul, khurofat, dan tathoyyur (menganggap sesuatu sebagai alamat sial dsb). Upacara ruwatan itu bermacam-macam, ada yang dengan mengubur sekujur tubuh selain kepala, atau menyembunyikan anak/ orang yang diruwat, ada yang dimandikan dengan air kembang dsb. Biasanya ruwatan itu disertai sesaji dan wayangan untuk menghindarkan agar Betoro Kolo tidak memangsa.

Ruwatan itu dari segi keyakinannya termasuk tathoyyur, satu jenis kemusyrikan yang sangat dilarang Islam, dosa terbesar. Sedang dari segi upacaranya termasuk menyembah/ memohon perlindungan kepada selain Allah, yaitu ke Betoro Kolo, satu jenis upacara kemusyrikan, dosa terbesar pula.

Nabi SAW bersabda:

“Thiyaroh adalah syirik/ menyekutukan Allah, thiyaroh adalah syirik” (HR Abu Dawud, dari Ibnu Mas’ud, marfu’).

Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak dapat pula mendatangkan bahaya kepadamu, jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)”. (QS Yunus:106).

Sudah jelas, Al-Qur’an dan Al-Hadits sangat melarang kemusyrikan. Dan bahkan mengancam dengan adzab, baik di dunia maupun di akherat. namun kini kemusyrikan itu justru dinasionalkan. Maka perlu dibisikkan ke telinga-telinga mereka, bahwa sebenarnya lakon mereka tu menghadang adzab dan murka Allah SWT, di dunia maupun di akherat.

Baik mitos yang dari barat dalam hal ini hermeneutika dari Yunani maupun dari timur, ruwatan agar tidak dimangsa Betoro Kolo, semuanya berupa kemusyrikan, di samping sama sekali tidak mutu. Maka tak mengherankan, para pengusungnya pun sebenarnya adalah orang-orang yang perlu dipertanyakan mutunya, di samping jelas kesesatannya.#






BAHAYA ISLAM LIBERAL

Islam liberal tampaknya bukan merupakan nama baku dari satu kelompok Islam, namun hanyalah satu kategori untuk memudahkan analisis. Sehingga orang-orang yang dikategorikan dalam Islam liberal itu sendiri ada yang saling berjauhan pendapatnya bahkan yang satu mengkritik tajam yang lain. Misalnjya, Ali Abdul Raziq dari Mesir yang menulis buku Al-Islam wa Ushulul Hukm dikritik tajam oleh Rasyid Ridha dan Dhiyauddin Rayis. Namun yang dikritik maupun pengkritiknya itu kedua belah pihak dimasukkan dalam kategori Islam Liberal, sebagaimana ditulis dalam buku Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook. Padahal, di kalangan Islam revivalis (salafi), Rasyid Ridha adalah seorang salaf, yang diakui sebagai ulama yang menguasai Hadits pula.

Demikian pula, Dr. Faraj Faudah[1] (Faraq Fuda, Mesir 1945-1993) tokoh sekuler di Mesir yang mati ditembak orang, April 1993, dan dinyatakan murtad oleh seorang ulama terkemuka di Mesir Muhammad Al-Ghazali, oleh Kurzman dimasukkan pula dalam barisan Islam Liberal yang menurutnya: secara tidak proporsional, menjadi korban kekerasan. Sebagaimana Dr Muhammad Khalaf Allah (Mesir, lahir 1916) yang dalam acara debat Islam dan Sekuler di Mesir 1992 dia jelas sebagai wakil kelompok sekuler, oleh Kurzman dimasukkan pula dalam kelompok Islam Liberal yang teraniaya seperti Dr Faraj Faudah. Hanya saja dia sebutkan, tidak hanya dipaksa untuk membakar seluruh salinan karyanya, tetapi juga dipaksa untuk menegaskan kembali keimanannya kepada Islam dan kembali memperbarui perjanjian perkawinannya.[2]

Bahkan Ahmad Dahlan (1868-1923M) pendiri Muhammadiyah dan Ahmad Surkati ulama Al-Irsyad gurunya Prof Dr HM Rasjidi[3] dimasukkan pula dalam barisan Islam Liberal. Sebaliknya, Nurcholish Madjid yang sejak tahun 1970-an mengemukakan pikiran sekularisasinya dan dibantah oleh HM Rasjidi, dimasukkan pula dalam jajaran Islam Liberal.

Kurzman yang alumni Harvad dan Berkeley itu menandai para tokoh Islam Liberal adalah orang-orang yang mengadakan pembaruan lewat pendidikan, dengan memakai sistem pendidikan non Islam alias Barat. Maka secara umum, tokoh-tokoh Islam Liberal itu menurutnya, adalah orang-orang modernis atau pembaharu.

Secara pengkategorian untuk menampilkan analisis, Kurzman telah memilih nama Islam Liberal sebagai wadah, tanpa menilai tentang benar tidaknya gagasan-gagasan dari para tokoh yang tulisannya dikumpulkan, 39 penulis dari 19 negara, sejak tahun 1920-an. Namun dia memberikan pengantar tentang perjalanan tokoh-tokoh Islam Liberal sejak abad 18, dimulai oleh Syah Waliyullah (India, 1703-1762) yang dianggap sebagai cikal bakal Islam Liberal, karena walaupun fahamnya revival (salaf) namun menurut Kurzman, bersikap lebih humanistik terhadap tradisi Islam adat, dibanding yang Wahabi atau kelompok kebangkitan Islam lainnya.

Digambarkan, orang Islam Liberal angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20 mengakomodasi Barat dengan kurang begitu faham seluk beluk Barat. Tetapi kaum Liberalis angkatan setelah itu lebih-lebih sejak 1970-an adalah orang-orang yang faham dengan kondisi Barat karena bahkan mereka keluaran Barat, Eropa dan Amerika.

Gambaran itu perlu diselidiki pula, seberapa kemampuan mereka dalam hal ilmu-ilmu Islam pada angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20; dan seberapa pula kaum Liberalis yang angkatan belakangan sampai kini.



Islam Liberal Dimasyhurkan dengan Sebutan Pembaharu

Pengkategorian Islam Liberal seperti yang dilakukan Kurzman itu, sebenarnya secara bentuk pemahaman hanya satu bentuk pengelompokan yang longgar, artinya tidak mempunyai sifat yang khusus apalagi seragam. Dilihat dari segi akomodatifnya terhadap Islam tradisi, mereka belum tentu. Dilihat dari segi mesti berhadapan dengan revivalis (salafi) kadang tidak juga. Buktinya, kenapa Rasyid Ridha yang digolongkan salafi oleh kaum salaf dimasukkan pula dalam Islam Liberal. Demikian pula Ahmad Surkati dan Ahmad Dahlan yang dianggap “musuh” NU (Nahdlatul Ulama/ Islam tradisi) dimasukkan dalam Islam Liberal pula.

Namun, penyebutan Islam Liberal yang dipakai Kurzman itu justru agak mendekati kepada realitas pemahaman, dibanding apa yang dilakukan oleh Dr Harun Nasution yang tentunya dijiplak juga dari Barat[4], kemudian bukunya jadi materi pokok di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau Pembaharu, dan dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih dikuat-kuatkan lagi dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah Islam.

Pemerkosaan seperti itu diujudkan dengan menampilkan buku, di antaranya Harun Nasution menulis buku yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia, Pembaharuan dalam Islam –Sejarah dan Gerakan, terbit pertama 1975. Dalam buku itu, pokoknya hantam kromo, semuanya adalah pembaharu atau modernis. Sehingga yang revivalis (salafi) seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang mengembalikan Islam sebagaimana ajaran awalnya ketika zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) semuanya dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum Modernis.

Mendiang Prof Dr Harun Nasu­tion alumni MMcGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad (Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal 49).

Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam Madinah, Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya. Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan kegairahan muda, tidaklah fasik berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan (dalam berdansa laki-perempuan itu, pen).

Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:

لكل بني آدم حظ من الزنا: فالعينان تزنيان وزناهما النظر، واليدان تزنيان وزناهما البطش، والرجلان تزنيان وزناهما المشي، والفم يزني وزناه القبل، والقلب يهوي ويتمنى، والفرج يصدق ذلك أو يكذبه.

"Likulli banii aadama haddhun minaz zinaa: fal 'ainaani tazniyaani
wa zinaahuman nadhru, walyadaani tazniyaani wazinaahumal bathsyu,
warrijlaani tazniyaani wazinaahumal masy-yu, walfamu yaznii
wazinaahul qublu, walqolbu yahwii wa yatamannaa, walfarju yushod
diqu dzaalika au yukaddzibuhu."

Artinya: "Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243,

sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).

Benarlah Rasulullah SAW dan bohonglah Syekh Thahthawi.[5]

Pencampuradukan yang dilakukan Harun Nasution --antara tokoh yang memurnikan Islam dan yang berpendapat melenceng dari Islam-- dalam bukunya ataupun kurikulum perkuliahan itu memunculkan kerancuan yang sangat dahsyat, dan paling banter dalam perkuliahan-perkuliahan hanya dibedakan, yang satu (revivalis/ salafi, pemurni Islam) disebut sebagai kaum modernis, sedang yang lain, yang menerima nasionalisme, demokrasi, bahkan dansa-dansi, disebut Neo Modernis.

Kerancuan-kerancuan semacam itu, baik disengaja atau malah sudah diprogramkan sejak mereka belajar di Barat, sebenarnya telah mencampur adukkan hal-hal yang bertentangan satu sama lain, dijadikan dalam satu wadah dengan satu sebutan: Modernis atau Pembaharu. Baik itu dibikin oleh ilmuwan Barat yang membuat kategorisasi ngawur-ngawuran itu berdisiplin ilmu sosiologi seperti Kurzman, maupun orang Indonesia alumni Barat yang lebih menekankan filsafat daripada syari’at Islam (di antaranya dengan mempersoalkan tentang siksa di hari kiamat)[6] seperti Dr Harun Nasution, mereka telah membuat sebutan atau kategorisasi yang tidak mewakili isi. Dan itu menjadi fitnah dalam keilmuan, sehingga terjadi kerancuan pemahaman, terutama menyangkut masalah “pembaharuan” atau tajdid. Karena, tajdid itu sendiri adalah direkomendasi oleh Nabi saw bahwa setiap di ujung 100 tahun ada seorang mujaddid (pembaharu) dari umatnya.

إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها.( رواه أبو داود).

“Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad), orang yang akan memperbarui agamanya.”
(Hadis dari Abu Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, mereka menshahihkannya, dan juga dishahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani).

Kalau orang yang menghalalkan dansa-dansi campur aduk laki perempuan model di Prancis, yaitu Rifa’at At-Thahthawi di Mesir, justru dikategorikan sebagai pembaharu atau mujaddid, bahkan dianggap sebagai pembuka pintu ijtihad, apakah itu bukan fitnah dari segi pemahaman ilmu dan bahkan dari sisi ajaran agama?

Padahal, menurut kitab Mafhuum Tajdiidid Dien oleh Busthami Muhammad Said, pembaharuan yang dimaksud dalam istilah tajdid itu adalah mengembalikan Islam seperti awal mulanya. Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan tajdid dengan menyatakan, “Tajdiduddin ialah mengembalikan Islam seperti pada zaman salaf yang pertama.”[7] Atau menghidupkan sunnah dalam Islam yang sudah mati di masyarakat. Jadi bukannya mengadakan pemahaman-pemahaman baru apalagi yang aneh-aneh yang tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan adapun menyimpulkan hukum sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai hal-hal baru, itu namanya ijtihad. Jadi yang diperlukan dalam Islam adalah tajdid dan ijtihad, bukan pembaharuan dalam arti mengakomodasi Barat ataupun adat sesuai selera tanpa memperhatikan landasan Islam.


--------------------------------------------------------------------------------


[1] Dr. Faraj Faudah (Faraq Fuda 1945-1993) adalah wakil dari kelompok sekuler bersama Dr Muhammad Khalaf Allah dalam menghadapi wakil kelompok Islam yaitu Syekh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma’mun Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah dalam acara debat Islam dan Sekuler yang kedua, 1992. Debat pertama dilaksanakan 1987M/ 1407H, pihak Islam diwakili Syekh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qaradhawi berhadapan dengan pihak sekuler yang diwakili Dr Fuad Zakaria. Kemudian dalam kasus terbunuhnya Dr Faraj Faudah April 1993, Syekh Muhammad Al-Ghazali didatangkan di pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam), Juli 1993 di Mesir. Kesaksian Syekh Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekuler, karena menurut Syekh Muhammad Al-Ghozali, sekuler itu hukumnya adalah keluar dari Islam. (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994M/ 1415H, halaman 89).

[2] Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A Sourcebook, terejemahan Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, 2001, hal xxix.

[3] Menteri Agama RI pertama, dulu bernama Saridi, lalu diubah oleh gurunya –Syekh Ahmad Surkati-- waktu sekolah di Al-Irsyad, menjadi Rasyidi. Lihat buku 70 Tahun HM Rasyidi.

[4] Karena menurut almarhum Dr Peunoh Dali guru besar IAIN Jakarta, Pak Harun Nasution itu adalah orang yang kagum terhadap Barat

[5] . Ali Juraisyah, Asaaliibul Ghazwil Fikri lil 'Aalamil Islami, hal 13.

[6] Ketika Dr Harun Nasution melontarkan pendapatnya yang mempersoalkan adanya siksa di hari akhir kelak, tahun 1985-an, dan dibantah orang di antaranya HM Rasjidi, saya sebagai wartawan menanyakan kepada Dr Quraish Shihab dalam satu perjalanan Jakarta- Palembang. Jawab Dr Quraish Shihab, kalau yang dimaskud siksa itu penganiayaan yaitu kedhaliman Allah terhadap hambaNya, itu ya tidak ada. Tetapi kalau siksa itu adzab sebagai balasan perbuatan dosa, ya tentu saja ada. Jawaban itu tadi agak mengagetkan saya, dan baru sembuh kekagetan saya ketika penggalan akhir dia ucapkan. Namun ada jawaban yang lebih mengagetkan saya. Ketika Porkas (judi lotre nasional masa Soeharto) baru muncul, saya bertanya kepada Prof KH Ibrahim Hosen, LML, Ketua Komisi Fatwa MUI/ Majelis Ulama Indonesia, bagaimana tanggapan beliau tentang dimunculkannnya Porkas oleh pemerintah itu. Sambil siap-siap masuk ke dalam mobil di halaman Masjid Istiqlal Jakarta, beliau berkata: Anda jangan tanya tentang yang kecil-kecil seperti itu. Porkas itu masalah kecil. Tanyakan masalah yang besar kepada orang yang mengatakan bahwa di akherat nanti tidak ada siksa. Itu masalah besar, ucap Pak Ibrahim Hosen sambil masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan waktu, ternyata Porkas yang beliau sebut masalah kecil itu menjadi masalah besar secara nasional selama bertahun-tahun. Masyarakat banyak yang melarat dan gila. Di jalan-jalan banyak orang yang menanyakan nomor lotre kepada orang-orang gila. Di mana-mana banyak sonji alias dukun-dukun tebak angka lotre. Di tempat-tempat yang mereka anggap keramat jadi tempat “peribadahan” pemburu nomor judi lotre yang belakangan namanya diubah jadi SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saya pikir, masalah kecil saja kalau dibiarkan, dan tidak diharamkan oleh MUI sejak awal, tahu-tahu jadi besar dan menjadi musibah aqidah umat Islam se- Indonesia. Apalagi pikiran sesat yang disebut masalah besar oleh Pak Ibrahim Hosen yang menganggap kecil masalah Porkas itu tadi.

[7] Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdiduddin, terjemahan Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernisme dan Tajdiduddin, PT Wacana Lazuardi Amanah, Bekasi, cetakan pertama, 1416H/ 1995M, hal 15.


Kelemaham Pokok Islam Liberal

Kalau itu yang disebut Islam Liberal, atau sebangsa yang menolak jilbab dan sebagainya, maka pantas kalau mendapatkan dampratan dari umat Islam. Hanya sayangnya, kenapa di Indonesia, bahkan di dunia Islam, pemikiran semacam itu, (“berbahaya karena sederhana”) justru diangkat-angkat bahkan diposisikan sebagai pembaharu, yang dalam bahasa Arabnya adalah mujaddid, yang hal itu punya kedudukan tinggi dalam Islam? Padahal, kenyataan pemikiran yang mereka sebarkan adalah satu bentuk pemikiran yang punya kelemahan-kelemahan pokok:

1. Tidak punya landasan/ dalil yang benar.

2. Tidak punya paradigma ilmiyah yang bisa dipertanggung jawabkan.

3. Tidak mengakui realita yang tampak nyata.

4. Tidak mengakui sejarah yang benar adanya.

5. Tidak punya rujukan yang bisa dipertanggung jawabkan.

Kelemahan-kelemahan itu bisa dibagi dua:

Lemah dari segi metode keilmuan.
Lemah dari segi tinjauan keyakinan atau teologis.
Lemah dari segi ilmiyah atau realita kebenaran itu dalam Al-Qur’an ada gambarannya, yaitu fatamorgana disangka air.

كسراب بقيعة يحسبه الظمئان ماء حتى إذا جاءه لم يجده شيئا.

"…laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (An-Nuur/ 24: 39).
Lemah dari segi aqidah digambarkan dalam Al-Qur’an bagai rumah labah-labah, selemah-lemah rumah.

مثل الذين اتخذوا من دون الله أولياء كمثل العنكبوت اتخذت بيتا وإن أوهن البيوت لبيت العنكبوت لو كانوا يعلمون.

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabuut/ 29: 41).

Dua-dua kelemahan itu ketika dibangun berbentuk sebuah bangunan maka ujudnya adalah pembangunan masjid dhiror, yang harus dihancurkan dengan cara dibakar. Sedang pembangunnya diancam neraka yang akan dimasukkan ke dalamnya beserta reruntuhan bangunan yang mereka buat. Masjid dhiror itu sendiri diibaratkan bangunan di tepi jurang yang runtuh, dan jadi pangkal keraguan dalam hati mereka

أ فمن أسس بنيانه على تقوى من الله ورضوان خير أم من أسس بنيانه على شفا جرف هار فانهار به في تار جهنم والله لا يهدى القوم الظالمين. لا يزال بنيانهم الذي بنوا ريبة في قلوبهم إلا أن تقطع قلوبهم والله عليم حكيم.

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.

Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah/ 9: 109-110).

Meskipun banyak kelemahannya, namun karena pelontarnya itu adalah orang yang sudah kadung dianggap sebagai tokoh intelektual, maka dianggap sebagai pemikiran baru dan maju. Padahal sebenarnya jauh sekali dari kebenaran ilmiyah maupun kebenaran agama yang berdasarkan dalil/ nash ayat dan hadits.

Kalau pentolannya saja modelnya begitu, maka yang lain-lain, baik yang sudah meninggal maupun yang masih menjalani hidupnya, kurang lebihnya pendapat mereka seperti yang dilontarkan Ahmad Wahib dan disunting serta disebarkan oleh Djohan Effendi, Dawam Rahardjo dan lainnya. Di antara isi lontaran itu adalah membuyarkan sumber Islam, dikembalikan kepada sejarah. Sebagaimana uraian berikut ini.


Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur’an & Hadits
sebagai Dasar Islam

Setelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya dengan dugaan-dugaan, "menurut saya" atau "saya pikir", tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain, dalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai berikut:

Kutipan:

" Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur'an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur'an dan Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya." (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).

Tanggapan:

Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.

1. Menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.

2. Al-Qur'an dan Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur'an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib.

Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu:

وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهداءكم إن كنتم صادقين

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS Al-Baqarah: 23).

3. Al-Qur'an dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.

4. Al-Qur'an dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar adat Arab. Tetapi siapapun yang konsekuen dengan Islam pasti akan menilai berdosa apabila melang­gar Al-Qur'an ddan AAs-Sunnah. Jadi tulisan Ahmad Wahib yang di­sunting Djohan Effendi iitu jjelas mmerusak pemahaman Islam dari akarnya. Ini sangat berbahaya, karena landasan Islam yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah/ Hadits telah dianggap bukan landasan Islam, dan hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke mana arah pemikiran duga-duga tapi sangat merusak Islam semacam ini?

Pandangan-pandangan berbahaya semacam itulah yang diangkat-angkat orang pluralis (menganggap semua agama itu paralel, sama, sejalan menuju keselamatan, dan kita tidak boleh melihat agama orang lain pakai agama yang kita peluk) yang belakangan menamakan diri sebagai Islam Liberal.



Tokoh-tokoh Islam Liberal

Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?
Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:
“Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:

Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Charles Kurzman, University of North Carolina.
Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
Edward Said
Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
Asghar Ali Engineer.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok –Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.


Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut “Jaringan Islam Liberal” (JIL).

Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah.

Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.


Tokoh-tokoh Islam Liberal

Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?
Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:
“Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:

Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Charles Kurzman, University of North Carolina.
Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
Edward Said
Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
Asghar Ali Engineer.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok –Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.


Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut “Jaringan Islam Liberal” (JIL).

Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah.

Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.


Perusakan Islam Lewat Bahasa
Cara Menghadapinya dengan Karangan


Islam menjadi sasaran perusakan yang dilakukan orang dengan berbagai cara. Ada yang mendirikan lembaga pendidikan/ pengkajian tetapi tujuannya demi pendangkalan Islam atau tasykik (membuat keragu-raguan).

Ada yang mengkutak-kutik istilah Islam yang sudah baku untuk diselewengkan maknanya.

Contohnya, istilah "hamba Allah yang sholeh" itu dalam Islam adalah orang yang beriman. Dan istilah itu ada riwayatnya jelas, As-Suddi (ulama besar ahli tafsir masa tabi'in) menjelaskan makna hamba Allah yang sholeh itu adalah orang-orang mukmin. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 halaman 245 dalam menafsiri QS Al-An-Biyaa'/ 21: 105). Namun istilah yang sudah mapan itu oleh Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem tiba-tiba mau dirubah, bahwa hamba Allah yang sholeh itu tidak mesti beriman. Hingga dia katakan, Presiden Amerika, Bill Clinton, --yang kelak ramai dibicarakan orang sedunia karena skandal seksnya dengan sekretaris kepresidenan, Monica Lewinsky- itu oleh Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem (sebelumnya telah) dianggap sebagai hamba Allah yang sholeh, bahkan dia sebut sebagai Khalifatullah fil ardh (Khalifah/ pengganti atau wakil Allah di bumi). Padahal menurut Islam, orang yang sholeh itu syarat utamanya adalah iman. Sedang Muslimin terpilih bahkan terbaik setelah Nabi Muhammad saw yaitu Abu Bakar As-Shiddiq saja pangkatnya hanya khalifah Nabi, namun Clinton yang non Muslim dan kelak heboh skandal seksnya itu telah dinyatakan oleh Imaduddin sebagai hamba Allah yang sholeh dan khalifah Allah.

Pernyataan Imaduddin itu dia kaitkan dengan Al-Qur'an S Al-Anbiyaa'/ 21:105



"Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfudh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh.(Al-Anbiyaa'/ 21:105).

Keruan saja pernyataan Imaduddin yang dimaksudkan sebagai penafsiran Al-Quran itu menjadi ramai ketika dia kemukakan dalam pidatonya saat ia menyajikan makalah di dalam "Seminar Internasional VI Mukjizat Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang Iptek", yang diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), 29 Agustus - 1 September 1994, di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) Bandung. Sampai-sampai, Dr Al-Muslih dari Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) Makkah, ketua penyelenggara seminar internasional yang sudah berpengalaman di berbagai negeri dalam menyelenggarakan acara yang sama di hadapan para cendekiawan Islam sedunia, saat itu meminta waktu seketika, dan mengemukakan bahwa seminar internasional semacam ini telah diselenggarakan selama 6 kali, namun baru di Indonesia ini makalah-makalah yang tidak bermutu bisa ditampilkan. Saat itu Dr HM Quraish Shihab selaku pembawa acara tampak klimpungan, lalu ingin membela diri (rekannya sebangsa, Indonesia) bahwa pihaknya telah berupaya keras untuk menampilkan makalah-makalah yang bagus, dan ini telah diusahakan dari sekian banyak, hanya beberapa makalah yang bisa diloloskan untuk tampil dalam forum internasional ini.

Ungkapan Quraish Shihab itu justru bermakna terbalik. Maunya membela rekannya sebangsa, namun justru terperosok, dan secara tidak langsung sama dengan mengatakan, yang sudah dianggap bagus saja seperti itu mutunya, apalagi yang tidak lolos. Maka suasana seminar pun kacau, ramai sekali, akhirnya dibubarkan sementara alias istirahat sementara. Sedang para peserta saling berbantah-bantahan satu sama lain. Tampak KH Sa'id Hilaby (almarhum, Ulama Al-Irsyad) ingin meleraikan para ilmuwan Islam sedunia yang sedang ribut itu di waktu "istirahat-terpaksa" itu. Namun tetap saja suara-suara nada protes terhadap pendapat Imaduddin itu bermunculan secara gaduh, hanya saja bukan dalam suasana sidang, karena memang sidangnya diskors sementara. Pakar-pakar tafsir Al-Qur'an seperti Dr Ahsin Muhammad Asyrofuddin alumni Saudi Arabia ketika saya wawancarai, beliau mengemukakan belum pernah mendengar ulasan seperti yang dikemukakan Imaduddin itu. Sementara itu Dr Sa'id Aqil Al-Munawar (bukan Said Aqil Siraj yang di buku ini disebut termasuk yang mempelopori do'a bersama antar agama, satu bid'ah yang sangat tercela) yang juga alumni Saudi Arabia ketika saya wawancarai, Pak Aqil Al-Munawar menjawab, barangkali Pak Imaduddin hanya keliru saja.

Saat itulah Imaduddin, salah satu orang Indonesia yang dianggap pakar Islam dan dari kelompok yang suka melontarkan penafsiran sak gaduk-gaduke (seterjangkau-jangkaunya), ternyata mengalami musibah langsung, kena batunya di forum internasional, di hadapan para ahlinya.

Omong-omong tentang "kena batunya" di depan para halinya, kalau yang sifatnya tidak di forum internasional tetapi skup nasional agaknya sering juga terjadi. Misalnya, Prof Dawam Rahardjo ketika berpidato tentang hukum waris Islam tahun 1987 --zaman KH Munawir Sjadzali jadi menteri agama dan ingin merubah hukum waris Islam antara laki-laki dan perempuan untuk disamakan satu banding satu-- di depan para utusan Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Syari'at yang rata-rata adalah para pejabat dari Peradilan Agama, Prof Dawam Rahardjo mengemukakan, kalau mau membagi harta warisan dua banding satu antara lelaki dan perempuan, bagaimana menghitungnya?

Ungkapan Prof Dawam Rahardjo itu tampaknya membela Pak Munawir yang ingin merubah hukum waris Islam dari hukum aslinya: bagian lelaki dibanding wanita adalah dua banding satu, lalu ingin dirubah jadi satu banding satu. Arah pembicaraan Dawam Raharjo adalah: Kalau satu banding satu kan mudah menghitungnya. Kalau dua banding satu, bagaimana menghitungnya?

Nah, hadirin yang memenuhi aula di suatu gedung di Kaliurang Yogyakarta itu secara spontan tampak menertawakan kepicikan Dawam Rahardjo, ketika mereka mendengar ungkapannya yang aneh itu. Seketika itu pula Prof Dawam Rahardjo tampaknya merasa kalau dirinya ditertawakan secara serempak oleh para ahli. Dalam hal ini ahli memberikan fatwa waris. Rupanya Prof Dawam Rahardjo ini seketika langsung merasa bahwa dirinya sedang "menggarami laut" dan bahkan tanpa persediaan garam yang banyak, maka pidato yang baru 10 menit itu terpaksa dia hentikan sendiri, dia ucapkan: wassalamu'alaikum warohmatullah.... lantas ia ngibrit pulang langsung ke Jakarta, tidak pakai tengak-tengok kanan kiri lagi.

Peristiwa itu berbeda dengan Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem. Meskipun Imaduddin sudah kena batunya di forum internasional di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) Bandung, namun ia masih pula berani-beraninya khutbah di masjid IPTN itu saat itu pula. Keruan saja, KH Ahmad Khalil Ridwan alumni Madinah, kemudian berpidato keras-keras di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, meyakinkan jama'ah bahwa Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem tidak bisa berbahasa Arab, dengan bukti khutbah jum'atnya di Masjid IPTN Bandung salah-salah dalam membacanya. Kenapa KH Ahmad Khalil Ridwan sampai mempidatokan diri orang lain semacam itu, menurutnya karena orang yang disebut tidak bisa berbahasa Arab itu telah berani menafsiri ayat Al-Qur'an semaunya.

Demikianlah secuil suasana percaturan penyebaran ilmu Islam di Indonesia, keadaannya menyangkut-nyangkut hal-hal yang bisa merusak Islam alias merusak pemahaman Islam. Itu saja baru mengenai hal yang berkaitan dengan seluk beluk bahasa.

Kembali kepada masalah awal tentang perusakan Islam, ada lagi yang merusak Islam lewat praktek perbuatan, dan ada yang lewat bahasa dan karangan.

Merusak Islam lewat bahasa itu hal yang berbahaya. Bahkan ucapan yang kadang dianggap biasa saja, bisa mencemplungkan pengucapnya ke neraka selama 70 tahun.

Kita simak sabda Nabi SAW:

"Innar rojula layatakallamu bil kalimati laa yaro bihaa ba'san yahwii bihaa sab'iina khoriifan fin naari."

"Sesungguhnya ada seorang laki-laki mengucapkan satu perkataan yang dianggap tidak apa-apa (tetapi ternyata) menjerumuskannya ke dalam neraka sampai 70 tahun." (Hadits Shahih Riwayat At-Tirmidzi dalam Az-Zuhd 4/604 dari Abu Hurairah)

Berikut ini insya Allah akan diuraian tentang perusakan Islam lewat bahasa. Kemudian disambung dengan cara menanggulanginya yaitu dengan memaparkan teknik pemakaian bahasa dalam mengarang, dan rangsangan agar ummat Islam menanggulangi perusakan Islam yang dilancarkan musuh. Marilah kita bicarakan satu demi satu.

Tentang bahasa

Bahasa ialah ungkapan pikiran dan perasaan manusia yang secara teratur dinyatakan dengan memakai alat bunyi. Perasaan dan pikiran merupakan isi bahasa, sedangkan bunyi yang teratur merupakan bentuk bahasa.

Ada dua macam bentuk bahasa: bahasa lisan dan bahasa tulisan.

Bahasa tulisan dianggap merupakan sistim yang sangat bergantung kepada ujaran. (Lihat Ensiklopedi Umum, hal 116)

Asal bahasa

Bahasa itu sendiri, secara sekuler, disebut tidak diketahui asalnya. Sedangkan di dalam Islam, Al-Quran telah menjelaskan, Nabi Adam AS diajari oleh Allah SWT tentang nama-nama semuanya. Jadi, bahasa itu jelas asalnya dari Allah SWT.

"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,... (QS Al-Baqarah/ 2: 31).

Bahasa Indonesia

Menurut Ensiklopedi Umum, Bahasa Indonesia berasal dan tumbuh dari bahasa Melayu Riau, Johor, daerah sekitar Selat Malaka. Sekurang-kurangnya sejak 6 abad lalu bahasa Melayu itu menjadi bahasa perhubungan.

Istilah-istilah Islam tentu masuk ke dalam bahasa Indonesia sebagaimana masuk ke bahasa-bahasa bangsa lain. Lebih dari itu, Bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran dan Al-Hadits (sumber Islam) terbukti masuk dan banyak yang menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia bahkan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan agama, wabil khusus istilah hukum. Karena, pada dasarnya hukum yang berlaku di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dan Melayu (Jawi) adalah hukum Islam. Sampai sekarang, istilah nikah, talak, ruju', waris, waqaf, hibah dsb yang berasal dari bahasa Arab (Islam) menjadi bahasa resmi di Indonesia. Itu disamping istilah-istilah umum biasa seperti: sabun, fikir, kursi, huruf, hukum dsb.

Upaya menghapus istilah-istilah Islam

Pengaruh bahasa Arab yang cukup dominan ini tak disukai oleh pihak yang kurang senang dengan Islam, atau oleh orang yang mengaku Islam namun dalam hatinya mengandung penyakit ingin merusak Islam. Hingga gedung MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang istilahnya itu sendiri dari kata-kata Arab Islam (yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, tiga kata itu semuanya dari kata-kata Arab), namun pada waktu jaya-jayanya Soeharto sebagai presiden RI ke2 menggulkan aliran kemusyrikan (kebatinan) dalam GBHN 1978, lantas nama ruangan-ruangan gedung MPR itu diganti dengan bahasa Sanskerta, bahasa usang yang sudah tak terpakai. Seperti ada ruang wirashaba dsb yang hampir seluruh masyarakat sulit mengucapkannya, apalagi untuk tahu artinya. Juga memberi nama "kereta api cepat" dengan nama Argo (gunung) Gede, Argo Bromo, Argo Lawu; sedang pesawat terbang dinamai Tetuko (nama wayang) dsb. Belum lagi masalah penghapusan tulisan Arab dari uang resmi setelah tahun 1960-an, dan penghapusan pelajaran menulis dan membaca Arab- Melayu sejak 1970-an. Padahal tulisan Arab itu sampai kini justru digalakkan di negeri jiran seperti di Brunei Darus Salam yang setiap plang (papan nama)jalan ataupun plang-plang di bandar udara/ lapangan terbang ditulis dengan tulisan Arab. Namun di Indonesia, plang IAIN (Institut Agama Islam Negeri) pun dihapus dari tulisan Arabnya (Al-Jami'ah Al-Islamiyyah Al-Hukumiyyah/ )sejak menjelang tahun 1990-an (?).Masjid-masjid pun plangnya sudah banyak yang tidak memakai huruf Hijaiyyah lagi. Sementara di balik itu ada yang ghuluw (ekstrem) hingga tembok di dalam masjid ditulisi dengan apa yang disebut kaligrafi aneka macam tulisan.

Penyesatan dengan bahasa yang tampak Islami

Sementara itu ada juga yang mengambil kesempatan menggunakan tulisan Arab dan Bahasa Arab yang tampaknya Islami, untuk karangan-karangan yang menyesatkan ummat Islam, bahkan menjajakan kemusyrikan secara terbuka. Misalnya buku-buku Mujarobat yang isinya bercampur dengan kemusyrikan, primbon-primbon (ramalan-ramalan, khurofat, tathoyyur, takhayyul dsb), tafsir-tafsir mimpi yang tidak shohih dan bahkan kitab-kitab kuning (Arab Gundul, hurufnya tidak pakai baris/ harokat dan kertasnya biasa berwarna kuning) pun tidak terbebas dari hal-hal yang menjerumuskan aqidah ummat Islam. Misalnya kitab tentang Nur Muhammad, yang hal itu intinya: Tidak dijadikan dunia seisinya ini kecuali karena Nur Muhammad. Itu adalah keyakinan orang shufi (tasawuf) sesat yang bercampur filsafat Yunani dan kepercayaan bathil Nasrani. Lalu diberi dalil berupa hadits palsu/ maudhu':

Laulaaka lamaa kholaqtul aflaaq (Seandainya bukan karena engkau Muhammad, maka pasti tidak Aku ciptakan planet-planet ini). Ini sangat dipegangi di kalangan shufi (orang tasawuf) sesat. Setiap mereka memperingati maulid Nabi SAW --yang tidak ada perintahnya samasekali dalam Islam--, selalu mereka kemukakan hadits palsu itu (baca rangkaian ini pada bab mengenai tasawuf di buku ini, atau selengkapnya baca tentang Nur Muhammad di Buku Mendudukan Tasawuf, Gus Dur Wali?). Juga kitab-kitab lain yang dipakai kalangan shufi bahkan pesantren umum di Indonesia di antaranya Kitab Durratun Nashihien yang mengandung banyak hadits palsu dan bahkan khayalan yang jauh dari ajaran Islam. Semua itu menggunakan tulisan Arab dan Bahasa Arab, namun kini di-Indonesiakan oleh orang-orang yang hanya mengejar duit, tidak menggubris sesatnya ummat.

Istilah Islami diselewengkan kaum sekuler

Ada juga istilah yang asalnya Islam diselewengkan kepada kemusyrikan, misalnya upacara sesaji kemusyrikan dinamai sedekah bumi. Lafal sedekah itu dari shodaqoh. Ada juga perkataan lokal yang secara haqiqi bermakna biasa, namun secara maknawi- kemusyrikan dimaknakan lain, seperti: wedus gembel itu artinya adalah kambing kibas, namun oleh pihak tertentu dijadikan sebagai nama (lambang kepercayaan syirik) penyebab timbulnya angin panas yang menghanguskan manusia dan hewan di Kaliurang Yogyakarta 1994. Hingga koran (Islam?) Republika pun ikut-ikutan mempublikasikan istilah kemusyrikan itu.

Kaum sekuler pun bertingkah pula. Mereka gigih mengganti istilah-istilah Islam-Arab dengan istilah Barat. Misalnya, mereka alergi menggunakan istilah [1]akhlaq[1] hingga mereka ingin menggusurnya dengan istilah etika atau moral, sedang Aqidah-Tauhid diganti dengan Teologi. Istilah tahkim diganti dengan arbitrase. Mereka tak mau menggunakan istilah Ahad, lalu diganti dengan Minggu, dan bahkan bukan sekadar harinya yang diganti namun tanggal qomariyah yang merupakan penanggalan yang berkaitan dengan ibadah telah mereka upayakan untuk ditinggalkan, hanya memakai tanggal syamsiyah. Hingga generasi Islam pun tidak hafal nama-nama bulan Hijriyah/ qomariyah.

Itu semua adalah upaya mengikis Islam dari segi bahasa dan istilah.

Orang-orang jahil pun ikut-ikutan merusak Islam secara sadar ataupun tidak, dalam hal memompakan istilah. Pernah ada pejabat tinggi negara yang ingin menamakan pelacur dengan "wanita harapan" di masa jaya-jayanya Presiden Soeharto. Bahkan selama pemerintahan Soeharto, istilah pelacur telah diganti dengan "wanita tuna susila" kemudian disingkat dengan WTS. Hingga orang tua dari gudang WTS di Indramayu Jawa Barat pernah dikhabarkan ada yang bangga anaknya jadi WTS di Jakarta karena duitnya banyak, sedang ia tak tahu apa arti kata "WTS" itu.

Menghalalkan perzinaan lewat bahasa

Untuk menghalalkan pelacuran, dimunculkan pula istilah pekerja seks. Seakan perbuatan yang melawan hukum Allah itu menjadi salah satu jenis pekerjaan yang perlu disahkan. Na'udzubillaahi min dzaalik.

Setelah perzinaan merajalela, wanita-wanita karier banyak yang dikhabarkan menyeleweng, maka dimunculkan pula istilah yang seolah-olah bukan larangan agama. Pasangan zina laki-laki cukup disebut PIL (Pria Idaman Lain), sedang pasangan zina perempuan disebut WIL (Wanita Idaman Lain). Artinya, para pezina itu sudah punya isteri atau suami namun kemudian berzina. Mereka itu seharusnya dirajam, yakni dihukum mati oleh pengadilan, caranya ditanam setengah badan di depan umum (misalnya di depan masjid), lalu dilempari batu kecil-kecil sampai mati. Namun yang dimunculkan dalam istilah yang merusak Islam itu justru istilah menggiurkan yaitu pria idaman, dan wanitaidaman. Sehingga pasangan zina justru disebut idaman. Na'udzubillahi min dzaalik.

Para pengomando seks bebas entah itu berkedok sebagai dokter ahli seks ataupun lainnya mempromosikan istilah itu secara gencar sebagai penyambung lidah aspirasi syetan yang merusak Islam. Belum lagi iklan kondom yang digencarkan dengan suara mendayu-dayu yang intinya menghalalkan zina asal pakai kondom. Suatu penentangan agama yang terang-terangan, namun tidak diambil tindakan oleh pemerintah. Padahal, diturunkannya ayat yang artinya Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir, itu adalah berkaitan dengan enggannya kaum Yahudi menerapkan hukum rajam atas pezina yang telah diwahyukan Allah SWT dalam Taurat. Malahan kini ada gejala yang lebih bandel lagi ketimbang Yahudi itu. Kini bukan hanya tidak mau melaksanakan hukum rajam, namun bahkan menghalalkan perzinaan dengan aneka bahasa dan dalih. Astaghfirullaahal 'Adhiem. Kadang penghalalnya itu perempuan lagi, dengan membela-bela diteruskannya lokalisasi pelacuran, dan mereka tak rela akan dibubarkannya, dengan aneka dalih.

Wanita-wanita murahan yang kerjaannya suka dipotret telanjang pun berani berkilah-kilah dengan bahasa, katanya ketelanjangannya itu hanya trik kamera. Lalu pihak-pihak yang mendukung sarana perzinaan dengan menyebarkan gambar-gambar porno pun tak mau kalah, mereka menyebut yang porno itu dengan istilah keren, estetika alias seni keindahan. Syetan telah mengomandoi mereka, maka menganggap baik kejorokan yang mereka lakukan.

Golongan ahli rancu terjerumus

Satu partai yang didirikan oleh organisasi berlabel Ulama pun konon berkampanye di daerah pelacuran, dan para pelacur merengek agar tidak dibubarkan sarang pelacurannya. Bisa diucapi, memang babi atau tikus got (pecren,Jw) itu lebih suka hidup di comberan. Apakah ini sudah salah kedaden (salah pola dasarnya)? Wallahu a'lam. Yang jelas, trend sikap suatu gerombolan, geng, atau bahkan golongan tertentu, sering berkait berkelindan dengan lakon para penggedenya.

Ada orang terkemuka dari golongan itu yang dikenal dengan sebutan Gus Anu. Dia ini hafal Al-Quran dan sering mengadakan sima'an Al-Quran, pembacaan Al-Quran secara hafalan, dan didengarkan banyak orang di suatu majlis. Gus Anu itu konon suka datang ke daerah remang-remang, hingga wanita-wanita pelacur yang disebut penghibur (ini istilah yang mengelabui pula) banyak yang kenal. Diberitakan, si hafal Quran itu minum minuman bir hitam segala.

Lalu sampai pada usianya pun meninggallah ia. Lakon seperti itu kemudian dipuji-puji pula oleh seseorang --yang terkemuka dan pernah saya tulis buku khusus tentang bahaya pemikirannya-- untuk mengenang kematiannya di koran Katolik tempat menggedekan si pemikir bahaya itu. Lha kalau lakon seperti itu saja dipuji, maka lakon berkampanye di tempat pelacuran oleh partainya itu ya dianggap lumrah (biasa, wajar). Padahal, kalau orang yang sedang kampanye di tempat pelacuran itu tiba-tiba mati di sana, dan atau ada adzab jatuh di sana, maka suu-ul khotimah (buruk akhir hayatnya) lah mereka. Kenapa? Karena, pada hakekatnya sama dengan sudah rela terhadap keberadaan tempat maksiat itu sendiri. Namun berhubung cara berfikir mereka sudah rancu dan sering menolak nasihat kebenaran alias sombong, maka begitulah adanya. Terjadilah apa yang terjadi. Itu di antaranya gara-gara pengelabuan istilah berupa apa yang mereka sebut "wali". Istilah "wali", bagi mereka bisa kalis (terkena tapi tak berbekas) dari kesalahan, hatta kesalahan yang jelas-jelas amat sangat mencolok secara syar'i. Imbasnya, muballigh kondang

Zaenuddin MZ pun pernah terpeleset pula, ia berpidato dengan bangga bahwa dirinya berceramah di tempat pelacuran. Keterpelesetan semacam itu mudah-mudahan tak terulang, dan hendaknya beliau tidak mengulangi ketidak cermatannya dalam memahami Islam.

Seorang bekas bajingan seperti Anton Medan pun mendirikan lembaga yang di antara programnya mengkhususkan penerjunan para da'inya untuk berda'wah ke tempat pelacuran. Giliran tempat mesum itu diliburkan oleh Gubernur DKI Jakarta Surjadi Sudirja untuk pertama kalinya pada Ramadhan 1417H, maka program yang sudah dirancang rapi oleh Anton dan anak buahnya itu gagallah. Boleh diperkirakan, justru mereka "menyesal" dengan diliburkannya tempat pelacuran itu. (Lihat buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam..... Darul Falah Jakarta, 1420H).

Kenapa Anton berprogram seperti itu? Wallahu a'lam. Tetapi gurunya, kita kenal adalah seorang terkemuka dari golongan seperti tersebut di atas, tidak lain adalah Kiai Haji Noer Muhammad Iskandar SQ tokoh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pembela utama Gus Dur,

yang telah punya pemahaman rancu mengenai pernikahan, dipraktekkan pula hingga pernah heboh dan memalukan.

Jadi istilah "wali" yang disalah artikan seperti tersebut di atas, ternyata rangkaiannya sangat jauh, dan pengaruhnya amat jauh dari ajaran Islam, secara melembaga di suatu organisasi dan kalangan pesantren yang mengaku Ahlus Sunnah namun seringkali belepotan dengan bid'ah.

Gerombolan dukun dengan istilah mentereng

Dari segi pelanggaran aqidah yang amat tinggi pun diciptakan istilah yang sangat merusak aqidah. Dukun santet, dukun nujum, dukun ramal dsb diganti dengan istilah para normal. Kemudian secara terang-terangan mereka mengiklankan diri dan disponsori oleh media massa yang dalam hal ini merusak Islam di antaranya koran Pos Kota untuk diadakan praktek secara nasional dengan iklan besar-besaran. Lalu diberitakan pula dengan cara yang menarik.

Sehingga seakan sebagai hiburan belaka, sedang para dukun itupun telah menjerumuskan ummat dengan mengeruk duit per-orang Rp300.000,-. Padahal, menurut Nabi Muhammad SAW, mendatangi dukun untuk bertanya sesuatu saja sudah ditolak sholatnya 40 hari. Sedang kalau bertanya kepada dukun tentang sesuatu dan (lantas) meyakininya maka dihukumi telah kafir terhadap Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, menurut hadits shahih. Namun justru kini secara terang-terangan para dukun perusak aqidah itu membuat apa yang mereka sebut PPI

(Paguyuban Para Normal Indonesia) yang konon anggotanya telah mencapai 60.000 dukun. Jadi penjaja kemusyrikan yang dulu masih ngumpet-ngumpet (sembunyi-sembunyi), kini telah terang-terangan. Padahal, bahayanya bagi ummat tidak kalah dengan bahaya garong, copet, maling ataupun gedor, kecu, bangsat, dan bajingan lainnya. Hanya saja para bajingan itu merugikan secara harta, namun apa yang disebut para normal itu merusak total aqidah ummat, yang justru lebih sangat-sangat berbahaya. Namun penguasa tampak diam-diam saja, bahkan pernah ada pejabat kabupaten di Bantul Yogyakarta yang dikhabarkan membayar dukun sampai satu miliar rupiah.

Aneh bin ajaib, di kalangan orang Islam sendiri menyetujui apa yang disebut "orang pinter". Padahal, hakekatnya sami mawon (sama saja), dukun-dukun juga. Walaupun yang disebut orang pinter itu berlabel kiai, tetap sama juga dengan dukun Mbah Jambrong, kalau prakteknya dukun-dukun juga. Namun masyarakat mengidentikkan dukun itu dengan kiai. Hingga ribuan orang dari golongan yang sering rancu aqidahnya berduyun-duyun ke dukun yang disebut kiai untuk minta ilmu kebal. Suatu bentuk pelanggaran aqidah yang terang-terangan, namun dilakukan secara demonstratip oleh golongan bid'ah dan khurofat. Ini satu kerancuan akibat pengelabuan lewat bahasa.

Karena kemusyrikan perdukunan makin dianggap biasa, maka di saat tumbuh reformasi dan bermunculan media massa baru, lalu ada yang justru rajin mengiklankan kemusyrikan. Contohnya, koran Duta yang dikenal koran kaum NU (Nahdlatul Ulama) yang berhaluan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) tampak bersemangat mengiklankan susuk, yaitu aji-aji kemusyrikan, dengan disebut ratu susuk asmara. Itu jelas menjerumuskan, seolah aji-aji susuk kemusyrikan itu boleh-boleh saja.

Demikian pula koran yang konon SIUPP-nya Islam seperti Harian Terbit suka mengiklankan kemusyrikan itu pula. Televisi swasta pun ada yang mengobral kemusyrikan model itu. Semua itu dikemas dengan bahasa yang seakan tidak ada masalah menurut agama.

Membredel lafal-lafal Islami

Di balik itu semua, anak-anak kita pun telah kita lepaskan ikatannya terhadap lafal Allah. Hingga mereka tidak kita biasakan mendekat pada-Nya. Justru kita jauhkan dari Allah sejengkal demi sejengkal. Yang semula anak kita masih mengucap: "Ya Allah... kini kita jauhkan dari kata-kata itu. Kita ganti dengan Ya ampun...., Ya amplop... dan sebagainya. Yang tadinya anak-anak kita diajari ustadznya agar membaca alhamdulillaah ketika bersin atau bangkis, kini telah kita jauhkan dari puji syukur itu. Yang tadinya masyarakat kita fasih mengucapkan astaghfirullah ketika terperanjat, kini kita jauhkan dari istighfar itu dengan ucapan: astaga, atau bahkan astaganaga yang tidak punya makna minta ampun pada Allah sama sekali.

Semua sedekah-sedekah yang bisa kita lakukan dengan mulut seperti membaca alhamdulillaah, astaghfirullaah, Allahu akbar, innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun, dan sebagainya itu telah kita bredel dari diri kita, masyarakat kita, anak-anak kita, bahkan cucu kita. Jadilah kita ini orang-orang yang sekuler, tidak mau menyebut nama Allah, apalagi berdzikir. (Lihat Buku Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1994, hal 41).

Penerjemahan

Sejak tahun 1980-an tumbuh subur penerbit-penerbit Islam yang mencetak buku-buku terjemahan dari bahasa Arab, buku Islam. Pengaruhnya cukup luas karena sambutan generasi muda Islam dan kaum terpelajar cukup baik. Hanya saja kadang timbul beberapa masalah di antaranya tentang bahasa, misalnya kurang tepatnya penerjemahan. Dan masalah lain lagi tentang belum tentu kitab yang diterjemahkan itu baik dan benar secara Islam. Sedang penerjemah pun belum tentu tahu persis ilmu atau maksud dari penulisan buku yang diterjemahkan itu. Sehingga pada hakekatnya buku-buku terjemah itu baru merupakan alternatif terendah ketika kita belum menguasai bahasa aslinya yakni Arab.

Mengenai bahasa, sering ada idiom kata-kata Arab yang sulit diterjemahkan. Misalnya, lafal Tsakilatka ummuk, waihaka, taribat yadaaka, 'aqro halqo dsb yang semua itu ada di dalam hadits. Suatu ungkapan yang ditujukan kepada mukhotob (orang yang diajak bicara) secara lahiriyah berisi dzam (celaan) atau bahkan do'a maut, namun bukan dimaksudkan demikian.

Bahasa dalam mengarang

Bahasa ini sangat penting bagi penulis naskah, karena pada dasarnya menulis karangan itu adalah mengemukakan buah pikiran dengan bahasa.

Bahasa tulis ini sifatnya lebih tinggi dibanding bahasa pergaulan sehari-hari. Sehingga, di samping pengarang itu gagasannya (fikroh dan tashowwurnya/ pemikiran dan persepsinya) jelas, masih pula dituntut mampu mengemukakan buah pikirannya itu dengan bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah pemahaman umum. Karena bahasa memang sifatnya umum. Hanya saja, orang yang kreatif kemungkinan bisa memasyarakatkan buah pikiran sekaligus memasyarakatkan istilah-istilah dalam bahasa sesuai dengan ideologinya. Hingga tidak terasa, orang akan ikut mengucapkannya, padahal istilah itu menyalahi aqidah. Misalnya, dimunculkan istilah [1] "di bumi pancasila ini", "hari kesaktian pancasila", "padamu negeri jiwa raga kami"[1] dsb. Istilah itu tidak sesuai dengan aqidah Islam, namun banyak orang Islam yang ikut-ikutan mengucapkannya. Bahkan, dalam upacara penguburan mayat konon diucapkan, "Kita serahkan jenazah ini kepada ibu pertiwi".

Kata-kata itu bertentangan dengan Islam yang menuntun ummat untuk mengucapkan:

"Bismillahi wa 'alaa millati Rasulillaah"

"Dengan nama Allah, dan atas agama rasul Allah." (HR At-Tirmidzi dan Abu Daud). Bukan menyerahkan mayat kepada bumi.

Ini menyangkut aqidah yang sifatnya prinsipil, namun bisa dimainkan penyelewengannya lewat bahasa.

Tata bahasa

Masalah-masalah seperti itu perlu dicermati bagi pengarang Muslim, penceramah, atau da'i. Di samping itu, tata bahasa pun harus dikuasai, agar karangan yang ditulis tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku.

Kaidah itu misalnya dalam bahasa Indonesia memakai hukum DM (diterangkan menerangkan). Contohnya, kata "hijau lumut", maksudnya warna hijau seperti lumut. Hal ini biasanya berbalikan dengan bahasa Inggeris. Sedangkan dengan Bahasa Arab, biasanya sama. Hanya saja, dalam bahasa Arab yang relatif hukum DM ini sama dengan Bahasa Indonesia pun kadang-kadang akan timbul penerjemahan yang berbeda, karena beda persepsi dalam hal mana yang diterangkan. Contohnya, Surat Al-An'aam ayat 123:

-------------------------

Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri akaabiro mujrimiihaa agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. (QS Al-An'aam/ 6: 123).

Lafal akaabiro mujrimiihaa itu terjemah Depag sendiri ada dua macam. 1, penjahat-penjahat yang terbesar (dalam Al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI 1971, halaman 208), dan 2, pembesar-pembesar yang jahat (dalam Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI 1985/1986, juz 8 halaman 266). Dua makna itu berbeda pengertiannya. Yang satu pembesar-pembesarnya yang jahat, sedang yang satunya lagi penjahat-penjahatnya yang besar.

Memilih kata dan kalimat

Menggunakan bahasa dalam mengarang, berarti memilih kata dan kalimat. Jadi, membuat karangan itu pada pokoknya adalah:

1. Memilih kata-kata.

2. membuat kalimat.

3. Membuat kerangka (outline)

4. Menuntaskan satu bentuk karangan.

5. Mengoreksi kebenaran bahasa, tulisan, alur, dan isi karangan.

Memilih kata-kata dan membuat kalimat dalam suatu karangan hendaknya diupayakan agar bahasanya benar dan baik. Bahasa yang benar yaitu yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang dipakai.

Adapun kalimat dan kata-kata yang baik, artinya kata-kata yang tingkatannya tinggi, bahasa sopan atau resmi. Dalam Bahasa Arab disebut bahasa fush-haa bukan bahasa 'aamiyyah, pasaran.

Dari sini bisa dimaklumi bahwa mengarang itu bukan sekadar mengeluarkan ide atau pemikiran, namun juga bagaimana cara menyajikan buah pikiran itu lewat bahasa tulisan. Secara mudah ibaratnya orang mau menyajikan makanan, maka ia harus menyediakan bahan makan, lalu berupaya memasaknya, kemudian menyajikannya ke meja makan untuk dimakan. Sehingga, karangan yang buah pikirannya bagus mesti didukung dengan bahasa penulisan yang bagus dan benar. Karangan yang bagus adalah yang isinya bagus dan benar, bahasanya bagus dan benar, dan alurnya bagus hingga tidak bolak-balik.

Karangan yang baik dan menarik

Karangan yang bagus dan benar itu belum tentu menarik untuk dibaca. Untuk lebih bisa punya daya tarik perlu dukungan kata-kata yang menarik, dan teknik-teknik lainnya, di antaranya dengan memilih judul yang menarik, mengawali karangan dengan kalimat yang jelas dan ungkapan yang menarik, dan persoalan yang dikemukakan itu sendiri ditonjolkan lebih dulu segi-segi mana yang menarik.

Bahasa yang menarik itu berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, satu suku dengan suku lainnya, bahkan satu lapisan masyarakat dengan lapisan lainnya. Orang awam tidak suka bahasa-bahasa asing, orang terpelajar tak suka bahasa pejabat, sedang orang Islam harus menjauhi bahasa-bahasa sekuler dan musyrik.

Misal, sebuah teks khutbah tidak layak diawali dengan kisah:

Dengan diiringi gendang serta gamelan yang bertalu-talu disertai bau kemenyan yang mewangi, jenazah pelawak Gepeng diberangkatkan dari rumah duka siang itu.

Bahasa dan isi kalimat tersebut sarat dengan makna yang mengandung ideologi kepercayaan berbau kemusyrikan. Pintarnya orang meramu berita, pidato, kisah, laporan dsb dengan kata-kata yang indah dan menarik, sering menjerumuskan orang ke arah sesat yang jauh. Justru di situ tantangan ummat Islam, khususnya para da'i. Mampukah dan maukah mengimbangi kegigihan mereka? Ummat Islam ditantang adu canggih, sampai dalam hal kecanggihan meramu kata-kata untuk mengungkapkan buah pikiran lewat teks. Entah itu sekadar slogan di spanduk, di iklan, di siaran-siaran singkat dsb, maupun yang sifatnya teks serius seperti khutbah, makalah, artikel, paper, buku ilmiah dan sebagainya.

Menangkal serangan

Teori itu perlu sekali kita praktekkan dalam menangkal berbagai serangan yang merusak Islam seperti uraian tersebut di atas.

Perlu diingat, kalimah syahadat pun diacak-acak Nurcholish Madjid dengan cara menerjemahkannya menjadi Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Sedang lafal Assalamu'alaikum diinginkan Gus Dur untuk diganti dengan selamat pagi. Kuburan pun diberi istilah "keramat" entah oleh siapa, yang kandungannya rawan syirik. Lalu Gus Dur menghidupkan Sunnah Sayyi'ah (jalan keburukan) tentang pengeramatan itu dengan menghadiri kuburan Joko Tingkir di Lamongan Jawa Timur yang tak banyak dikenal orang, akibatnya praktek rawan kemusyrikan itu marak kembali sejak Juli 1999. (Tulisan ini bukan berarti anti ziarah kubur, namun dalam hal ini jelas kaitannya dengan pengeramatan kuburan yang jelas mengandung kerawanan syirik). Sementara itu pihak Nasrani lewat Nehemia-nya mengacak-acak Islam dengan menyebarkan lembaran-lembaran yang disebut [1]Dakwah Ukhuwah[1] padahal isinya memutar balikkan ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits.

Ya! Itu semua adalah serangan gencar yang merusak Islam. Maka Islam pun terhadap ummat ini senantiasa minta bukti, apa yang telah kita upayakan dalam kancah peperangan yang menuntut kecanggihan dan kegigihan ini.


Mendeteksi Sumber Penyimpangan:
Yahudinisasi Lewat Tasawuf



1. Orang yang dikuasai Syetan

"Barangsiapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syaitan, maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan kebenaran dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS Az-Zuhruf/43: 36-37).

Ayat ini menerangkan bahwa barangsiapa yang tidak mau membiasakan diri mengingat Allah, dan (juga) berpaling dari ajaran Al-Quran yang telah disampaikan kepada Muhammad SAW, serta berusaha untuk tidak memperhatikannya, dan telah terpengaruh oleh kesenangan hidup di dunia, maka Allah akan menjadikan syaitan sebagai teman eratnya, baik berupa jin maupun manusia.

Syaitan itulah yang selalu mendampingi dan mempengaruhinya, sehingga tertanamlah dalam pikirannya anggapan yang tidak baik, yaitu memandang perbuatan buruk sebagai perbuatan baik. Karena itu, hatinya makin lama makin tertutup, tidak mau menerima kebenaran. Semakin lama tutupan itu semakin kuat dan rapat, sehingga tidak ada suatu celah pun yang mungkin dimasuki cahaya Ilahi. Ayat yang lain yang sama artinya dengan ayat ini, ialah firman Allah SWT:

Artinya: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti mereka tidak beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaan nya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang sangat." (QS Al-An'aam [6]:110).

Makin lama syaitan mendampingi seseorang, makin lama pula ia bergelimang dalam kesesatan dan semakin kuat pula tutupan yang menutup hatinya. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 25, hal 117).

Di dalam hadits dijelaskan sebagai berikut:

Qoola Rasuulullahi SAW: "Innal mu'mina idzaa adznaba dzanban kaanat nuqthotun saudaau fii qolbihii, fain taaba wa naza'a wasta'taba tsaqula qolbuhuu, wa in zaada zaadat hattaa ta'luwa qolbuhuu."

Artinya:
Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya orang yang beriman, apabila ia mengerjakan perbuatan dosa maka terjadilah satu titik hitam di dalam hatinya. Lalu apabila ia bertobat, mencabut perbuatannya, dan menyesal, maka cemerlanglah hatinya. Dan jika ia tambah (berdosa) maka bertambahlah titik hitam itu sehingga tertutuplah hatinya." (HR At-Tirmidzi, Ibnu Jarir - At-Thabari dari Abu Hurairah, Tafsir Depag RI, Juz 25, halaman 118).

Menurut Az-Zajzaj, arti ayat ini (QS Az-Zukhruf: 36) ialah: "Barangsiapa yang berpaling dari Al-Quran dan tidak mengikuti petunjuknya, pasti ia mendapatkan siksaan dari Allah SWT; akan didekatkan kepadanya syaitan yang terus menerus menggodanya agar ia menempuh jalan yang sesat."

Riwayat lain menyebutkan, ayat itu turun berkenaan dengan tingkah orang-orang kafir Quraisy:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Utsman Al-Makhzumi bahwa orang-orang Quraisy berkata, "Dampingkanlah kepada setiap sahabat Muhammad seorang dari kita untuk mempengaruhinya."

Maka mereka mendampingkan Thalhah bin Ubaidillah (orang kafir Quraisy) kepada Abu Bakar. Maka datanglah Thalhah kepada Abu Bakar, waktu itu ia sedang berada di tengah-tengah kaum Quraisy, lalu Abu Bakar bertanya:

"Apa yang kamu serukan kepadaku?"
Thalhah menjawab: "Aku menyeru engkau untuk menyembah Al-Laata dan Al-'Uzza."
Abu Bakar bertanya:"Apa Al-Laata itu?"
Thalhah menjawab: "Anak-anak laki-laki Allah."
Abu Bakar bertanya: "Apa Al-'Uzza itu?"
Thalhah menjawab: "Anak-anak perempuan Allah."
Abu Bakar bertanya lagi: "Siapa ibu mereka?"
Thalhah terdiam dan tidak dapat menjawabnya.
Lalu Thalhah berkata kepada teman-temannya: "Jawablah pertanyaan orang ini."
Teman-temannya itu terdiam pula. Maka Thalhah berkata: "Berdirilah hai Abu Bakar, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah." Maka turunlah ayat ini (yaitu QS Az-Zukhruf: 36). (ibid, hal 118-119).

Dalam ayat 37 QS Az-Zukhruf dijelaskan, akibat bagi seseorang yang selalu didampingi syaitan, yaitu syaitan itu selalu berusaha menghambat mereka (agar tidak bisa) menempuh jalan lurus, jalan yang diridhai Allah, serta berusaha menimbulkan keyakinan dan anggapan pada pikiran orang itu bahwa jalan sesat yang dtempuhnya itu adalah jalan yang benar, dan setiap kebenaran yang disampaikan kepadanya dianggap sebagai jalan yang sesat. (ibid, hal 119).

2. Mengaku Muslim sambil memusuhi Islam

Meskipun dalam riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) itu mengenai orang kafir Quraisy, namun bukan berarti yang bisa dikuasai syaitan itu hanya orang-orang kafir. Bahkan orang Islam yang kurang taat pun dikuasai syaitan. seperti ditegaskan oleh Nabi SAW:

"Maa min tsalaatsatin fii qoryatin walaa badwin laa tuqoomu fiihim sholaatul jamaa'ati illas tahwadza 'alaihimus syaithoonu. Fa'alaikum bil jamaa'ati, fainnamaa ya'kuludz dzi'bu minal ghonamil qooshiyah."

"Tidaklah dari tiga orang di suatu kampung atau pedusunan yang di dalam mereka itu tidak ditegakkan shalat jama'ah, kecuali mereka pasti akan dikuasai oleh syetan. Maka wajib atas kamu shalat jama'ah. Karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang jauh dari kawannya." (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, dan Al-Hakim, berderajat shahih).

Betapa banyaknya kampung-kampung yang mungkin sekali dihuni oleh orang-orang Muslim namun di sana sepi dari shalat berjama 'ah. Maka pantas sekali kalau hati mereka telah dikuasai oleh syaitan, hingga kebringasan, kejahatan, penipuan, penghalangan terhadap Islam terjadi di mana-mana. Padahal mereka mengaku Islam, namun tidak jarang mereka pula yang mati-matian mengganjal dan mempecundangi Islam, bahkan sekuat-kuatnya untuk memberantas orang-orang mu'min yang bercita-cita menegakkan Islam.

Bahkan ada dedengkot-dedengkot perusak Islam yang terang-terangan membela non Muslim dalam berbagai hal, padahal dirinya tidak mau kalau disebut antek Yahudi, Zionis, antek Nasrani, atau antek Konghu chu. Padahal mereka jelas-jelas ikut memeriahkan bahkan menghadiri perayaan hari-hari raya orang-orang kafir atau musyrik musuh Allah SWT itu, dan memperjuangkan aspirasi musyrikin dan kafirin itu.

Mereka tidak malu-malu mengaku dirinya sebagai tokoh Islam, bahkan mulutnya bisa berdalih dengan dalih nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya yang telah mereka jadikan berhala, sehingga syaitan telah menguasai mereka, dan mereka menganggap bahwa diri mereka itu mendapat petunjuk, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT tersebut. Sehingga, sifat syaitan sebagai musuh Allah yang nyata dan musuh mukminin telah hinggap dan bersarang di dada-dada mereka, di antaranya mereka lego lilo/ tulus ikhlas bila yang dibantai itu ummat Islam.

Padahal, kalau mereka mau meneladani sikap Rasulullah saw yang beliau itu dijamin oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) tentu mereka faham bahwa Rasulullah saw tidak pernah mengucapi selamat Natal kepada para pendeta maupun rahib. Padahal Rasulullah saw juga sebagai pemimpin bangsa, negara, bahkan Ummat Islam sedunia. Mengucapi selamat Natal pun tidak, apalagi menghadiri upacara Natalan, dan lebih tidak lagi berpidato pada upacara orang-orang kafirin musyrikin itu.

Tetapi kenapa Presiden Gus Dur hadir pada upacara Natalan, bahkan berpidato menyambutnya? Padahal, dia dijuluki kiai, bahkan ada yang menyebutnya wali, meski dia sendiri menganggap orang yang menyebutnya wali itu orang yang tak bertanggung jawab. Kenapa pula Amien Rais (ketua MPR, bekas ketua organisasi Islam Muhammadiyah), Akbar Tanjung (ketua DPR, bekas ketua umum organisasi mahasiswa HMI), dan Megawati anaknya Soekarno (wakil presiden, dan sudah pernah berhaji) hadir pada upacara kemusyrikan itu.

Kalau memang mereka benar-benar percaya kepada Nabi Muhammad saw, apakah pernah Nabi mencontohi hadir, berpidato, atau mengucapi selamat Natal seperti yang mereka lakukan itu? Dan kenapa pula Prof Dr HM Quraish Shihab yang disebut ahli tafsir lulusan Mesir itu ngotot menulis fatwanya tentang bolehnya mengucapi selamat Natal kepada orang Nasrani? Adakah contoh dari Nabi Muhammad saw yang seperti itu? Mau dibawa ke mana Ummat Islam Indonesia ini oleh para tokoh yang mengaku dirinya Muslim bahkan sebagai ketua-ketua atau mantan ketua lembaga atau organisasi Islam, namun memberi contoh yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw itu?

Yang dicontohkan oleh Nabi saw justru tantangan untuk mubahalah, atas perintah dari Allah SWT:

"Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS Ali 'Imran: 61).

Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berpendapat, mendo'a kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani, dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad.(Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag RI, hal 85).

Contoh dari Nabi saw dan merupakan perintah langsung dari Allah SWT adalah seperti tersebut di atas. Namun sebaliknya, sebagian tokoh Islam Indonesia sekarang justru sangat jauh dari keteladanan Nabi saw tersebut. Keberpihakannya malahan nampak berbalik kepada pihak kafirin walmusyrikin. Hingga ketika ada gereja yang dirusak orang, tidak diselidiki dulu penyebab-penyebabnya, dan tidak dicari dulu hukum keabsahan berdirinya menurut Islam, langsung orang-orang yang masih tak malu mengaku Islam itu berani bilang "tembak di tempat" bagi perusak gereja. Padahal, puluhan masjid yang dibakar, dan juga ratusan (mungkin ribuan?) masjid dan musholla yang digusur oleh orang-orang anti Islam, mereka tidak mau tahu, dan pura-pura tidak tahu. Karena memang mereka sendiri, di markas besarnya pun kemungkinan sekali tidak ada masjidnya.

Ada organisasi besar yang mengaku dirinya Muslim, bahkan ulama, namun di markasnya tidak ada masjidnya, dan hanya ada musholla sempit sekali, kotor, dan "dihiasi" dengan sangkar-sangkar burung. Pantas saja kalau mereka ada yang lebih krasan (lebih merasa ni'mat) berkarib-karib dengan orang gereja ataupun memperjuangkan gereja, klenteng dsb. Akibatnya, sangat parah. Yang muda-muda atau pun mahasiswa kelompok mereka tidak malu-malu mencari proyek-proyek dengan bantuan gereja. Bila ditegur temannya sesama Muslim, jawab mereka enteng, "Ah... saya kan tinggal ngikuti saja pemimpin-pemimpin yang di atas.

Orang pimpinan-pimpinan saya (maksudnya para pemimpinnya) juga suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke gereja, apa salahnya saya sebagai muqollidnya "berittiba'" (pengikut buta-nya mengikut) kepada mereka?" jawabnya cengengesan (sikap tak bertanggung jawab). Na'udzubillaahi min dzaalik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu). Benarlah syaitan telah memperdaya hati mereka, sehingga mereka pandang baik apa-apa yang buruk, dan amat buruk. Memang syaitan sangat berusaha keras untuk menjerumuskan mereka, yaitu siapa saja yang menjadi teman syaitan.

3. Merubah agama Allah

Firman Allah Ta'ala tentang ucapan Syetan;
"... dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya." (An-Nisaa': 119).

Dalam tafsir Ibnu katsir, merubah ciptaan Allah itu menurut Ibnu Abbas dan lain-lain, berarti merubah diinullaah, agama Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, halaman 686).

Para ahli bid'ah telah memporak porandakan Islam, diinullah. Dan mereka secara terang-terangan berani menyatakan permusuhannya terhadap mukminin yang menegakkan Islam dengan benar. Musuh besar mereka adalah orang Islam yang konsekuen dan konsisten (istiqomah) dengan Islamnya. Sehingga kalau ahli bid'ah atau orang yang merubah agama Allah itu berkuasa, maka diangkatlah orang-orang yang lihai dalam memusuhi Islam. Dan dibabatlah siapa-siapa yang kira-kira jelas menegakkan Islam.

Karena orang-orang yang merubah diinullah itu di antaranya adalah orang Yahudi dan Nasrani --menurut Al-Quran-- maka kaum Ahli Bid'ah pun bergabung dengan Yahudi dan Nasrani serta musyri kin dan kafirin dalam memusuhi Muslimin. Di situ peran munafiqin sangat strategis, berupaya menghancurkan Islam dengan bersekongkol bersama Yahudi cs itu. Akibatnya, orang-orang Islam yang tak kuat imannya akan ikut-ikut pula menjadi munafiq. Dan semakin banyak munafiqnya semakin subur pula pembunuhan terhadap orang Islam ataupun aturan Islam itu sendiri.

Selama ini munafiqin, kafirin, musyrikin, ahli bid'ah dan syaitan-syaitannya telah berhasil membunuh hukum-hukum Islam, hingga tinggal hukum keluarga, yakni nikah, talak, rujuk, waris, hibah, shodaqoh, dan waqaf. Munafiqin, Yahudi, Nasrani, kuffar, musyrikin dan syaitan-syaitannya kini sudah siap dan beraksi lebih lagi. Hukum perkawinan pun mulai diugrag-ugrag (dikutik-kutik) lagi. Kata mereka, hukum perkawinan yang berlaku ini diskriminatif.

Orang-orang yang tidak rela adanya hukum Islam yang masih "tersisa" sedikit itu justru biasanya tidak rela pula kalau pelacuran dihapus. Jadi benar-benar pikiran syaitanlah yang telah menguasai jiwa mereka; menggempur hukum Islam tentang perkawinan, sambil "memperjuangkan" berlangsung tumbuh suburnya pelacuran. Itulah misi mereka, misi syaitan. Benar-benar mereka itu musuh orang Muslim, yaitu syaitan yang berujud manusia, artinya manusia yang telah menjadi syaitan.

Meskipun demikian, orang Muslim yang sejati tidak usah berkecil hati. Ada penjelasan sebagai berikut.

4. Orang yang menegakkan kebenaran Islam:

"Maka bersabarlah kamu untuk melaksanakan ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka." (QS Al-Insaan/76: 24).

Nabi SAW bersabda: "Laa tazaalu thooifatun min ummatii dhoohiriina 'alal haqqi laa yadhurruhum man khodzalahum hattaa ya'tiya amrulloohi wahum kadzaalika."

"Senantiasa masih ada sekelompok dari ummatku yang selalu menang/unggul dalam menegakkan kebenaran. Mereka tak peduli dengan orang-orang yang menghinakan mereka sehingga datang perintah Allah (hari kiamat)dan mereka tetap demikian." (HR Al-Bukhari 3641, dan Muslim 1920,) dari Hadits Mu'awiyah ra. Selain Mu'awiyah ada beberapa orang shahabat lainnya meriwayatkan hadits Thaifah Manshuroh ini. Syaikh Al-Albani menjelaskan takhrij hadits ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits As-Shahihah, juz 1 nomor 270.

Sabda Nabi SAW:

"Innal Islaama bada'a ghariiban wa saya'uudu ghoriiban kamaa bada'a, fathuubaa lilghurobaa'i."
"Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing." (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:
Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing: yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak." (Al-Albani berkata: "Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih, lihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqoh an-Najiyah wat Thoifah al-Manshuroh, diterjemahkan menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cet I, 1419H, halaman 7-8).

Sabda Nabi SAW:
"Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing, yaitu orang-orang sholeh yang hidup di tengah orang banyak yang buruk perangainya, di mana orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada orang yang mentatatinya." (HR Ahmad, shahih).

Nabi SAW bersabda: "Orang yang paling pedih musibahnya di dunia ini ialah para nabi, kemudian orang-orang sholeh." (HR Ibnu Majah).
Nabi SAW bersabda:
"Tidak boleh taat kepada pemimpin dalam hal ma'siat kepada Allah, karena kewajiban taat hanya dalam urusan yang baik." (HR Al-Bukhari).

5. Siapakah yang menegakkan kebenaran Islam itu?

Orang-orang yang dikuasai syetan (yaitu yang berpaling dari Al-Quran, tidak shalat berjama'ah, dan merubah agama Allah) berhadapan dengan orang-orang yang menegakkan kebenaran Islam.

Yang menegakkan kebenaran Islam itu siapa?
Apakah yang memahami Islam dengan filsafat, dengan sosiologi, antropologi, metodologi Barat, demokrasi, nasionalisme, kebudayaan, adat dsb? Bukan.
Hanya dengan Al-Quran? Bukan Hanya dengan Al-Hadits? Bukan. Dengan Al-Quran dan Hadits namun menurut pendapat masing-masing? Bukan. Tetapi dengan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW yang diwarisi oleh generasi terbaik, yaitu salaful ummah, ummat terdahulu, yaitu tiga generasi pertama, alias sahabat Nabi SAW, Tabi'in, dan Tabi'it Tabi'en.

Apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah saw dan diwarisis serta dilaksanakan oleh para sahabat itu apabila ditentang, dan bahkan mengambil jalan lain maka diancam oleh Allah SWT:

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisaa: 115).

Untuk mempertahankan diri agar tetap menjadi orang mukmin yang menegakkan Islam secara benar, maka perlu mengetahui di mana sumber-sumber penyimpangan Islam terjadi. Berikut ini penjelasannya.

6. Sumber-sumber penyimpangan

6.1. Akal yang tidak tunduk kepada wahyu

Kata Iblis: "Ana Khairun minhu, kholaqtanii min naarin wa kholaqtahuu min thiin".
Kata Iblis: “Saya lebih baik daripada Adam, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A'raaf:12).

6.2. Al-hawa': hawa nafsu dan sikap ghuluw

Ada serombongan sahabat nabi datang menanyakan ibadah Nabi kepada isteri-isterinya, lalu mereka menganggap diri mereka masih sangat sedikit ibadahnya dibanding dengan Rasulullah SAW. Lalu yang pertama, mau puasa terus sepanjang tahun tidak berbuka. Yang kedua akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Rasulullah SAW beliau menjelaskan kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan beliau bersabda:

"Innamaa ana a'lamukum billaahi wa akhsyaakum lahu, walaakinnii aquumu wa anaamu, wa ashuumu wa ufthiru, wa atazawwajun nisaa'a, faman roghiba 'an sunnatii falaisa minnii."

Saya adalah orang yang kenal Allah dan paling takut kepada-Nya, namun saya bangun dan tidur, puasa dan berbuka, dan saya beristerikan wanita-wanita. Oleh karena itu barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku." (HR Al-Bukhari).

"Iyyaakum wal-ghuluw fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bil ghuluwwi."

"Jauhilah oleh kalian ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama. Karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kamu sekalian itu hanyalah karena ghuluw." (HR Ahmad, An-nasaa'i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, shahih).

Allah SWT berfirman: “Walaa tuthi' man aghfalnaa qolbahuu 'an dzikrinaa wattaba'a hawaahu wakaana amruhu furuthoo.” Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Al-Kahfi:28).

6.3. Karena pengaruh agama-agama terdahulu

Nabi SAW bersabda: “Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wa dziroo'an bi dziroo'in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hatta lau anna ahadahum jaama'amroatahu bit thoriiqi lafa'altumuuhu.”

Pastilah benar-benar kamu sekalian akan melakukan kelakuan-kelakuan orang dulu sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kalian masuk (pula), sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi isterinya di jalan pasti kalian melakukan (pula). (HR Al-Hakim dari Ibnu abbas, shahih).

- Contoh, berpakaian, bergaya hidup, dan bahkan dalam memusuhi Islam atau meremehkan Islam, mereka telah meniru-niru Yahudi dan Nasrani.

6.4. Mengikuti adat istiadat yang bertentangan dengan Islam

Misalnya judi, selamatan orang mati dsb.

Qoola Jarir RA: "Kunnaa narol ijtimaa'a ilaa ahlil mayyiti wa shonii'atat tho'aami ba'da dafnihi lighoirihim minan niyaahah."

Jarir RA berkata: "Kita berpendapat bahwa mengadakan kumpulan bersama-sama pergi ke keluarga orang mati dan membuat makanan untuk disajikan kepada para tamu setelah dikuburnya/ ditanamnya mayit, hukumnya termasuk meratapi mayit." (Riwayat Ahmad).

Di Zaman sahabat Nabi SAW tingkah kumpul-kumpul, makan-makan setelah dikuburnya mayat itu dinilai sebagai niyahah/meratap. Sedang meratap adalah perbuatan jahiliyah yang diharamkan oleh Nabi SAW. Namun, kini para ahli bid'ah dan pengikutnya sangat doyan menggede-gedekan acara tahlilan selamatan orang mati. Setelah kita tahu orang-orang yang dikuasai syetan dengan sifat-sifatnya, orang-orang yang menegakkan Islam yang benar dengan sifat-sifatnya, dan juga mengetahui sumber-sumber penyimpangan, maka ketahuilah bahwa tasawwuf itu ada dalam jalur yang diliputi sumber-sumber penyimpangan itu.

7. Yahudinisasi lewat Tasawwuf

Ada penyimpangan lewat akal. Ada yang lewat hawa nafsu. Ada yang karena ghuluw atau berlebih-lebihan, ada yang karena meniru-niru Yahudi dan Nasrani, dan ada yang karena adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Dan itu semua kini didukung oleh Yahudi internasional, dengan cara membelajarkan dosen-dosen perguruan tinggi Islam (IAIN) ke Barat dengan istilah studi Islam, dengan hujjah belajar metodologi kritis. Padahal, studi Islam di Barat itu menurut hasil seminar pakar-pakar Islam di London, hanyalah menganggap Islam sebagai budaya Timur yang tidak sampai sebesar Hindu dan Budha. Sedang materi yang diajarkan Barat dalam studi Islam itu hanyalah sufisme (tasawwuf). Sedang tujuannya adalah tahwidiyyah / Yahudinisasi, menurut hasil seminar tersebut.

Mari kita simak kutipan berikut:

Bukti dari Al-Ghazwul Fikri (serangan pemikiran) yang dilangsungkan Barat terhadap dunia Islam pun diseminarkan di London Oktober 1993. Inti pembahasan tentang studi Islam di Barat, dalam seminar internasional Islam II itu, bahwa seluruh program studi Islam di perguruan tinggi Barat arahnya adalah Yahudinisasi ataupun Yudhaisme, yang memandang Islam itu perannya tak sebesar Yahudi, dan bahkan tak sampai setarap dengan agama-agama di Timur seperti Hindu dan Budha. Sedang para guru besar Studi Islam di Barat tidak faham tentang Islam, ajaran yang disebut studi Islam hanya melulu tentang sufisme (tasawuf), dan guru besar yang mengerti bahasa Arab sebagai sumber utama untuk merujuk kitab-kitab Islam hanya 15% (Lihat buku Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994, hal 107-108).

Apa itu Yahudinisasi? Secara mudahnya adalah apa yang kini disebut pluralisme atau kadang dengan halus disebut agama Ibrahim (Ini sejalan pula dengan istilah inklusivisme dan pluralisme, baca pada bab yang membahas masalah itu di buku ini). Yaitu penyebaran keyakinan yang tidak membolehkan ummat Islam ini "mengklaim kebenaran". Hingga para antek yang menyebarkan Yahudinisasi ini tidak membenarkan ummat Islam yang mengakui bahwa agama Islam sajalah yang benar. Mereka terang-terangan menyalahkan Muslimin yang meyakini bahwa Islam sajalah yang benar di sisi Allah.

Di antara yang menyalahkan Ummat Islam yang berkeyakinan bahwa Islam sajalah yang benar, contohnya adalah Dr Alwi Shihab. Ia menuduh ummat Islam tak sedikit yang gagal dalam menangkap makna dari kata Islam, dan dengan sendirinya (menurut tuduhan Alwi Shihab yang kini Menteri Luar Negeri RI itu) membenarkan sikap eklusivisme. Ini menyangkut Al-Quran dalam surah Ali Imran ayat 19 dan 85. Alwi Shihab menulis tuduhan terhadap Muslimin itu di Majalah Gatra No 9 Tahun V, 16 Januari 1999 dengan judul Muslim-Kristen.

Kepada Dr Alwi Shihab perlu dikomentari, dengan liciknya dia telah menyembunyikan keterangan tentang kafirnya orang non Muslim setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Alwi Shihab dengan mengecam Muslimin, ditambah dengan menyembunyikan keterangan yang haq tentang kafirnya pemeluk agama apapun selain Islam setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, itulah cara Alwi Shihab dalam menjajakan sikap mengimani sebagian ayat-ayat Allah dan mengingkari sebagian lainnya. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim ditegaskan:
'An Abii Hurairota 'an Rasuulillahi saw annahu qoola: "Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma'u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu'min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari." (Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Yang perlu ditegaskan pula adalah: lafal min ash-haabin naari (termasuk penghuni neraka), di situ orang-orang yang tidak mau masuk Islam itu statusnya bukan sekadar mampir ke neraka, namun justru penghuni neraka. Dalam uraian lain di buku ini dijelaskan, orang-orang yang kekal di neraka itu adalah orang-orang kafir, karena yang masih ada imannya maka akan dientas dari neraka dan dimasukkan ke surga. (lihat buku ini pada bab Kebohongan dan kesesatan Islam Jama'ah, Lemkari, LDII). Hadits shahih dan jelas maknanya semacam ini pun masih disembunyikan oleh orang-orang semacam Dr Alwi Shihab dan konco-konconya. (lihat tanggapan terhadap Dr Alwi Shihab itu dalam Buku ”Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru,” oleh Hartono Ahmad Jaiz, terbitan Darul Falah Jakarta, 1420H, hal 153).

Kembali ke masalah penikaman terhadap Islam, biasanya alumni Barat yang menyebarkan Yahudinisasi itu kini rajin sekali menjajakan tasawwuf. Dari sanalah di antaranya Islam itu ditikam, setelah upaya Yahudinisasi itu ramai-ramai dihujat oleh majalah Media Dakwah sejak 1992 selama 19 bulan bertutrut-turut. Hingga ada judul cover majalah itu: Ujung Pemikiran Nurcholish, dengan gambar ujungnya adalah Zionisme.

Sehabis itu mereka yang menjajakan Yahudinisasi itu menikam Islam lewat tasawwuf bersama orang Syi'ah dan lainnya. Maka tak mengherankan, sosok dedengkot Syi'ah di Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat sangat getol (bersemangat) menjajakan tasawuf di mana-mana, bahkan bagai kemaruk. Contohnya, di Bulan Ramadhan 1421H, kadang Jalaluddin Rachmat itu menyebarkan tasawuf lewat dua televisi dalam waktu bersamaan, yang satu siaran langsung, dan yang lain rekaman.

Padahal, apa-apa yang ditampilkan di televisi yang disebut acara tasawuf misalnya di Anteve itu merupakan acara yang sangat menyesatkan dan merusak Islam. Contohnya, seorang dosen perempuan dari Bandung yang biasa membawakan acara tasawuf di Anteve, ketika berbincang-bincang dengan nara sumber seorang doktor perempuan dosen di Bogor, lalu pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi yang kaitannya dengan feminisme. Pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi, katanya ada seorang syaikh yang masuk ke hutan, lalu binatang-binatang hutan semuanya tunduk, sampai-sampai ular pun bersedia jadi tongkatnya. Maka syaikh itu ditanya oleh muridnya, apa rahasianya? Ternyata rahasianya adalah: Syaikh ini senantiasa diam saja (sabar) ketika dia diomeli oleh isterinya.

Nah, cerita-cerita yang sangat tidak mutu model inilah yang menjadi landasan tasawuf itu dari berbagai seginya. Yang hal itu di zaman Ali bin Abi Thalib saja tukang ceritanya sudah diusir dari masjid, dilarang masuk masjid. Memang timbulnya tukang nasihat dengan cerita-cerita itu sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan mereka pun dilarang masuk masjid untuk bercerita oleh Khalifah. Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memenjarakan tukang-tukang cerita dan para pendengarnya. Berikut ini penjelasannya:

Munculnya bid'ah dongeng

Munculnya bid'ah tukang-tukang cerita (pendongeng/ qosshosh) adalah pada masa Ali RA, lalu mereka itu ditolak oleh para sahabat dan tabi'in.

Muhammad bin Waddhoh meriwayatkan dari Musa bin Mu'awiyah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi dari Sufyan:

"Dari Ubaidillah bin Nafi', ia berkata: Belum ada orang berkisah (mendongeng) pada masa Nabi SAW, tidak pula di masa Abu Bakar, tidak di masa Umar, dan tidak di masa Utsman. Dan pertama kali adanya dongeng itu ketika adanya fitnah (pembunuhan terhadap Utsman 35H).

Pendongeng (qosshosh) adalah juru nasihat yang mengadakan majelis-majelis untuk nasihat meniru majelis ta'lim. Pendongeng itu menasihati orang-orang di majelis dengan cerita-cerita dan kisah-kisah Israiliyyat dan semacamnya, berupa cerita yang tidak mempunyai sumber asalnya, atau suatu tema/ judul, atau berupa cerita yang tidak bisa dijangkau akal umum.

Sungguh Ali bin Abi Thalib RA telah melarang mereka --lihat Tahdzirul Khowas oleh As-Suyuti 213, dan Al-Bida' wan nahyu 'anha 16-- karena mereka mulai mendongengi orang-orang dengan yang aneh-aneh dan hal-hal yang samar (mutasyabihat) dan cerita yang tidak terjangkau oleh akal mereka dan yang tidak mereka kenal.

Ibnu Umar telah memerintahkan polisi untuk mengeluarkan (mengusir) tukang-tukang cerita dari masjid-masjid. Dan Umar bin Abdul Aziz telah memenjarakan tukang-tukang cerita dan orang-orang yang duduk bersama mereka.

Yang demikian itu bukan berarti terlarang menasihati. Dahulu Nabi SAW telah memberikan nasihat kepada para sahabat. Dan para sahabatnya pun demikian pula, serta generasi salafus shalih sesudahnya. Yang dilarang hanyalah menasihati dengan cerita-cerita yang tidak ada sumber asalnya (al-Quran atau al-Hadits atau riwayat yang shahih), dan bercerita dengan keanehan-keanehan dan perkara-perkara yang kacau, yang samar-samar, dan yang tidak terjangkau akal manusia pada umumnya, berupa masalah-masalah ghaib, tentang qadar, dan hal-hal yang membingungkan akal. Dan dilarang pula penasihat-penasihat yang bodoh yang membinasakan.Wallahu a'lam.

( Sumber:
1. Dr Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, Al-Ahwa' wal Firaq wal Bida' 'Ibra Tarikh al-Islami Masirotu Rokbi as-Syaithan, Darul wathan, Riyadh, Cetakan I, 1415H.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-Bid'atu; ta'rifuha, anwa'uha, ahkamuha, Darul 'Ashimah, Riyadh, cetakan I, 1412H.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithah bainal Haqqi wal Khalq, dimuraja'ah Muhammad Jamil Zainu, Percetakan Universitas Islam Madinah, cetakan pertama).

Adapun contoh lain penyesatan tasawuf yang ditikamkan kepada Islam secara sistematis oleh intelektualnya di Indonesia di antaranya silakan baca tanggapan buku ini pada judul Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Isinya menanggapi tikaman Nurcholish Madjid yang menafsiri ayat Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in menurut tasawuf, yang sangat menyesatkan.

Memang tasawwuf itu sendiri bibit utamanya di antaranya dari filsafat Yunani, Nasrani, dan Hindu; maka pas lah untuk sarana menikam Islam dari dalam, karena orang yang tertipu selama ini menganggap bahwa tasawwuf itu bagian dari ajaran Islam.

Padahal justru penyimpangan, sebenarnya. Kalau toh mau mentolerir tasawuf itu hanyalah bisa terhadap bagian yang sedikit, pada awal-awal ketika masih sekadar tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang belum tercemar oleh filsafat dan macam-macam bid'ah.

Kalau memang masih sekadar tazkiyatun nafs dan tidak ada unsur bid'ah dan lebih-lebih pula bid'ah aqidah yang dibawa oleh filsafat, maka masih bisa ditolerir. Tetapi, dari segi manhaj (pola, jalan, sistem) tasawuf itu sendiri yang sedemikian longgar dalam mengambil sumber (di antaranya mimpi-mimpi syaikh, alamat-alamat dikait-kaitkan dengan keghaiban dan bahkan cerita-cerita aneh seperti tersebut di atas) maka sejatinya tasawuf itu sudah jauh dari manhaj Islam yang shahih.

Dan justru di situlah pintu masuk yang dianggap paling strategis oleh musuh-musuh Islam terutama Yahudi. Mereka tidak menyia-nyiakan pintu bahaya itu, hingga dibikinlah program canggih secara sistematis dan tingkatnya internasional dengan mengkader putra-putra bangsa Muslimin sedunia yang cerdas untuk menjadi antek-antek Yahudi yang merusak Islam dari dalam, lewat tasawuf, demi menghancurkan Islam, dengan kedok membangun Islam. (Lebih lengkapnya, baca buku penulis yang berjudul Mendudukkan Tasawwuf, Gus Dur Wali? Darul Falah, Jakarta, Ramadhan 1420H).

Bahkan tasawwuf yang menikan Islam dan kini dijadikan sarana empuk untuk menikam Islam oleh Yahudi dan antek-anteknya itu kini digencarkan lewat televisi-televisi segala, di samping kurus-kursus yang mereka sebut paket-paket kajian tasawwuf.

Untuk lebih "memantapkan" program itu, tampaknya pemerintahan Indonesia sekarang masih merasa belum cukup hanya mengirim 300-an dosen-dosen IAIN ke Barat untuk "studi sufisme" yang bertujuan Yahudinisasi itu. Maka "dengan lapor dan minta restu" (?) kepada Boss Katolik, Paus Yohannes II, Presiden Gus Dur berkunjung ke Vatikan untuk mengemukakan bahwa (saat itu akan) diadakan dialog tiga agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam) di Jakarta, Senin 14 Februari 2000M.

Sebuah sumber mengatakan, ketika pihak sumber ini berkeinginan untuk ikut dalam "dialog" maka dijawab oleh panitia, seorang cewek dari Yayasan Paramadina di Jakarta, bahwa acara di Departemen Agama RI itu tertutup. Dan orang-orangnya sudah tertentu.

Siapa mereka? Dari Islam, menurut sumber itu, pembicaranya adalah orang-orang IAIN Jakarta, yaitu Dr Azzyumardi Azra (rektor IAIN Jakarta), Dr Bachtiar Effendi, dan Dr Kautsar Azhari Noer.

8. Mengikuti jejak Annie Besant

Program t kecil dan T besar yang dilontarkan Dr Nurcholish Madjid tahun 1985 untuk mengaburkan makna kalimah thoyyibah, Laailaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah) menjadi: Tiada tuhan selain Tuhan --t kecil dan T besar-- ternyata tidak berhenti sampai di situ. Walaupun sudah terpeleset-peleset sampai untuk menghindari lafal Allah itu dengan kilah bawa Allah itu sebutan bagi Dewa Air, hingga diledek oleh Drs H Ridwan Saidi: Kalau Allah itu Dewa Air, lantas kutu airnya mana?; namun program Yahudinisasi atau pendangkalan Islam, atau tasykik alias peragu-raguan terhadap kebenaran Islam tetap digencarkan.

Drs H Ridwan Saidi pernah menyindir secara telak terhadap rekannya, Dr Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran-pemikiran Nur cholish itu tidak jauh beda dengan pemikiran Annie Besant.

Untuk lebih jelasnya, sindiran itu bisa dicari sumber lain, sebenarnya bagaimanakah pemikiran dan missi Annie Besant itu. Prof Dr Hamka dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang shobi'un, di sana tertera nama Annie Besant. Tulis Hamka: "...Di dalam al-Quran kita bertemu nama-nama Shabi'un ini sampai tiga kali. Yaitu pada ayat 62 dari Surat al-Baqarah, ayat 69 dari Surat Al-Maidah, dan ayat 17 dari surat Al-Hajj.

Diambil kepada pokok pangkal kata-nya, yaitu shabi', berarti bahwa shabi'un ialah orang-orang yang keluar dari Nasrani, atau sebagai Muslim dia keluar dari agama Islam, lalu membuat agama sendiri. Inilah pula artinya seketika Rasulullah mencela agama nenek moyangnya kaum Quraisy, maka kaum Quraisy menuduh beliau shabi' dari agama yang dipeluk oleh nenek moyangnya.

Di negeri Irak sampai sekarang ini masih terdapat satu golongan agama yang dipanggilkan orang shabi'in. Mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi oleh karena terlalu memperturutkan fikiran sendiri, mereka tidak lagi memeluk agama yang telah ada, lalu memeluk atau membuat agama sendiri. Kaum shabi'in di Irak itu dalam beberapa hal mempercayai ajaran Kristen, tetapi merekapun mempercayai kekuatan bintang-bintang (astrologi), bahwa perjalanan bintang-bintang ada pengaruhnya kepada manusia, sehingga kebanyakan mereka menjadi tukang tenung nasib orang.

Menilik kepada pokok ambilan bahasa ini, maka penulis tafsir ini (Prof Dr Hamka, pen) berpendapat bahwasanya gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di zaman modern ini, seumpama Theosofi yang digerakkan oleh Annie Besant dan Madame Balavatsky di India beberapa puluh tahun yang lalu boleh juga dimasukkan dalam shabi 'in ini. Sebab maksud gerakan Theosofi ialah hendak mempersatukan atau mencari titik-titik pertemuan segala agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka tidak bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan hendak mempertemukan intisari segala agama, memperdalam rasa kerohanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah segala agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.

Pada pendapat saya (Hamka, pen) meskipun dalam tafsir-tafsir lama tidak bertemu pendapat seperti ini, Theosofi adalah semacam Shabi'in juga. Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar, Sultan Mongol Islam yang Agung di Hindustan yang terkenal itupun mencoba pula mencari titik-titik pertemuan agama, lalu membangun agama baru, dinamai Din Ilahi (agama Tuhan). Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, dan dipasangnya Api Suci Iran dalam istana di Agra dan beliau suruh menghormati sapi dan meninggalkan memakan dagingnya, dan beliau bertekun ibadat di dalam bulan puasa. Dan inipun semacam shabi 'in. (Prof Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 6, hal 322-323).

Model Theosofi, dengan istilah-istilah yang sering mereka lontarkan yakni mencari titik temu antar agama-agama, memang sering diucapkan oleh kader-kader dari Barat yang belajar "Islam" dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tidak syak lagi, apa yang mereka sebut universalisme, pluralisme, atau agama Ibrahim, tidak lain adalah pencabutan dari agama Islam, agar keluar dari Islam. Di sinilah
letak bahayanya.

Anehnya, kini bahkan merupakan proyek dan program besar yang didukung oleh penguasa dhalim yang tidak ada pembelaannya terhadap Islam, dan didukung aneka pihak dengan dipayungi oleh Yahudi internasional yang telah menggodok para intelektual dari negeri-negeri Islam lewat "studi Islam di Barat" dengan menggunakan kendaraan tasawwuf untuk menikam Islam.

Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku ummat Islam, termasuk pula para intelektual Muslim yang kini terperangkap ke arah sana. Tidak usah anda berbangga sebagaimana bangganya "londo ireng" (Belanda Hitam --pribumi yang jadi antek penjajah dan lebih galak ketimbang penjajahnya sendiri) di zaman penjajahan Belanda.

Akibatnya, mereka (antek-antek penjajah kafir itu) pun hancur, sedang nama busuk pun tertancap pada diri-diri mereka. Sadarilah bahwa tidak mungkin musuh Islam itu tulus ikhlas ingin memajukan Islam, atau mengembangkan Islam. Sebaliknya lah yang ada. Itu sudah hukum alam, menurut istilah saudara. Kalau istilah Islam, ya ayat itu tadi, tentang program-program syetan untuk menipu manusia dengan merubah ciptaan Allah, yaitu merubah diinullaah, agama Allah. Relakah anda disebut sebagai antek syetan?
Membentengi Ummat dari Sekulerisasi
dan Penyimpangan Pemikiran



Di dalam sebuah Hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud diriwayatkan:

عن خذيفة بن اليمن رضي الله عنه قال: كان التاس يسألون رسول الله ص م عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني فقلت، يا رسول الله، إنا كنا في جاهلية وشر، فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال: نعم، وفيه دخن . قلت: وما دخنه؟ قال: قوم يهدون بغير هديي.—وفي رواية: قوم يستنون بغير سنتي ويهدون بغير هديي.-- تعرف منهم وتنكر. قلت: فهل بعد ذالك الخير من شر؟ قال: نعم، دعاة على أبواب جهنم، من أجابهم إليها قذفوه فيها. قلت: يا رسول الله، صفهم لنا. قال: هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا. قلت: فما تأمرني إن أدركني ذلك؟ قال: تلزم جماعة المسلمين وإمامهم. قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك. (رواه البخاري).

Artinya:

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ra, ia berkata; “Adalah orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw dari hal kebaikan, tetapi aku bertanya kepadanya dari hal kejahatan, --karena— khawatir apabila kejahatan itu akan menjangkauku, maka aku berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya kami dulu dalam kejahiliyahan dan keburukan. Lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (iman-Islam) kepada kami, maka apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”

Beliau bersabda: “Ya, “

Aku bertanya: “Dan apakah setelah keburukan itu ada kebaikan (lagi)?”

Beliau menjawab: “Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan.”

Aku bertanya: “Dan apa kekeruhannya?”
Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mengambil petunjuk kepada selain petunjukku.”—Dan ada suatu riwayat—Suatu kaum yang mengambil sunnah/ perbuatan kepada selain sunnahku dan mengambil petunjuk kepada selain petunjukku--. Engkau kenal mereka itu dan engkau ingkari.”

Aku bertanya: “Maka apakah setelah kebaikan itu ada keburukan (lagi)?”

Beliau menjawab: “Ya. Juru-juru da’wah/ penyeru-penyeru ada di atas pintu-pintu jahannam, barangsiapa yang menjawab seruan mereka itu, maka mereka lemparkan dia ke dalam jahannam.”

Aku berkata: “Ya Rasulallah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka itu kepada kami.”

Beliau menjawab: “Mereka itu dari kulit kita dan mereka berbicara dengan bahasa-bahasa kita.”

Aku bertanya: “Maka apa yang engkau perintahkan kepadaku apabila aku menjumpai yang demikian itu?”

Beliau bersabda: “Kamu tetaplah berada di jama’ah muslimin dan imamnya.”

Aku bertanya: “Apabila mereka (Muslimin) tidak memiliki jama’ah dan tidak punya imam?”

Beliau bersabda: “Maka kamu singkirilah kelompok-kelompok (firqah-firqah) itu seluruhnya walau kamu (harus) menggigit akar pohon sampai kamu menemui kematian dan kamu (tetap) atas yang demikian itu.”[1]

Dari hadits yang panjang itu, Prof Ahmad Muhammad Jamal (almarhum) guru besar kebudayaan Islam pada Universitas Ummul Qura Makkah, mengutip sebagiannya, untuk dijadikan landasan dalam pendahuluan kitabnya yang berjudul Muftaroyaat 'alal Islaam (Kebohongan-kebohongan terhadap Islam) yang diIndonesiakan menjadi Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam. Potongan Hadits yang ia kutip adalah: Bahwa sahabat Hudzaifah ibnu Al-Yamani pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:

"Wahai Rasulullah, apakah sesudah kebaikan ini akan ada masa keburukan?" Jawab Rasulullah: "Ya., yaitu munculnya kaum yang mengajak orang lain ke neraka jahannam. Barangsiapa memenuhi ajakannya berarti telah menyiapkan dirinya untuk masuk neraka." Aku berkata: "Terangkanlah ciri-ciri mereka itu, wahai Rasulullah!" Jawab Rasul, "Kulit mereka sama dengan kulit kita dan mereka bicara dengan bahasa kita."

Beliau mengemukakan Hadits tersebut, karena menyesalkan sekali adanya orang-orang yang bersikap kebarat-baratan justru dari kalangan kita sendiri, warna kulitnya sejenis dengan kita, bahasanya sama dengan kita, bahkan semboyannya pun seperti semboyan kita. Namun mereka membelakangi sumber-sumber ajaran Islam berupa Al-Quran, Hadits, dan Sejarah Islam. Sebaliknya mereka hadapkan wajah dan hati mereka kepada sumber-sumber Barat. Kemudian mereka menuduh dan membohongkan Islam seperti yang diperbuat orang Barat.

Menurut Syeikh Ahmad Jamal, pengaruh itu masuk ke orang Islam lantaran salah satu dari 3 hal:

1. Karena mereka belajar di perguruan tinggi Barat, Eropa atau Amerika.

2. Karena mereka belajar di bawah asuhan orang-orang Barat di perguruan tinggi di dalam negeri mereka sendiri, atau

3. Karena mereka hanya membaca sumber-sumber dari Barat di luar tempat-tempat pendidikan formal dengan mengenyampingkan sumber-sumber Islami, karena tidak tahu atau karena ingin menyombongkan diri, yakni menganggap remeh terhadap sumber-sumber Islam.

Kalau sudah demikian, tanggung jawab siapa?

Kembali Syeikh Ahmad Jamal mengulasnya, bahwa itu adalah tenggung jawab kita --ummat Islam-- juga. Kenapa? Karena, kitalah yang mengirim mereka ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Barat dengan aneka alasan. Pengiriman mahasiswa itu tanpa membekali antisipasi untuk mencegah keraguan-raguan yang ditanamkan guru-guru Barat, dan kita tidak menyediakan untuk mahasiswa itu citra dan syiar Islam serta bentuk rumah tangga dan negara yang benar-benar Islami. Hingga kita tidak bisa meluruskan mereka ketika bengkok.

"Ya, kita mengirim mereka ke perguruan-perguruan Barat, namun kita tidak membangun rumah Islam buat mereka yang dapat melindungi mereka dari panah dan hembusan beracun orang-orang Barat." tulis Ahmad Muhammad Jamal.

Dengan tandas, Ustadz itu mengemukakan bahwa di samping bahaya tersebut, masih pula kita mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari Barat untuk memberikan pelajaran di perguruan-perguruan dan universitas-universitas kita. Dapat dipastikan, tenaga-tenaga Barat itu menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka sebagaimana yang dilakukan rekan-rekan mereka di negara Barat, yaitu meracuni dan menimbulkan rasa antipati terhadap Islam.

Faktor-faktor itu masih pula ditambah dengan kesalahan kita yaitu membuka pintu lebar-lebar untuk penyebaran kebudayaan Barat, sehingga orang kita begitu saja membenarkan apa-apa yang datang dari Barat dan menerimanya bula-bulat.

Akibat dari itu semua, Ustadz Ahmad Muhammad Jamal (68th) yang wafat di Kairo Mesir pada Hari Arafah 1413H itu mengemukakan peringatan yang cukup tandas:

"Dengan terjadinya hal-hal semacam itu maka juru da'wah Islam hanya dapat berteriak di lembah sunyi dan di padang yang lengang, bahkan mereka hanya dapat membacakan do'a kepada ahli kubur. Hanya sedikit pemuda Muslim yang diselamatkan oleh Allah. Yang sedikit inipun selalu dihalang-halangi kelompok jahat yang mayoritas itu dengan berbagai jalan. Setiap orang beriman ditekan, diintimidasi dan dirintangi dari menjalankan agama Alah."

Menghancurkan Hukum Islam dan sistem Islam

Upaya Barat untuk menghancurkan Islam --setelah selama 6 abad orang Barat belajar kepada kaum Muslimin-- mula-mula yang dihancurkan adalah hukum Islam. Hukum atau syari'at Islam telah berlangsung dan diterapkan sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sampai berkembangnya Islam ke berbagai negara di zaman kekhalifahan ataupun kesultanan.

Pada masa pemekaran Islam ke berbagai negara pada abad ketujuh, delapan, dan kesembilan Masehi, Hukum Positif Romawi mulai jatuh dan dilupakan orang, sejak munculnya Justinius pada abad keenam Masehi. Hukum positif itu tidak bisa diberlakukan lagi berabad-abad, kecuali pada abad ke sebelas oleh seorang murid yang sempat belajar hukum Islam di Andalus, yaitu Paus Jerbart seorang Prancis yang dikenal dengan nama Silvestre II (1024M). Ia menjadi murid orang-orang Islam Andalusia abad 11, kemudian kembali ke Prancis dan mengkaji hukum positif Romawi dengan memasukkan unsur-unsur syari'at Islam yang telah ia terima. Tetapi Paus Silvestre dan lainnya tidak berani mempublikasikan ajaran yang membawa pengaruh syari'at Islam itu di depan Gereja. Kemudian hukum positif Romawi yang dibawa oleh Paus dapat diterima oleh Gereja sebagai perkembangan hukum yang terselubung. [2]

Pada periode berikutnya, hukum Islam yang telah diberlakukan di berbagai negeri itu kemudian dipreteli (dilepas) diganti dengan hukum positif. Di saat hampir saja Inggris menduduki India (plus Pakistan dan Bangladesh) tahun 1791, Inggris sudah mengadakan gerakan untuk membatalkan syari'at Islam, kemudian orang Islam di sana mulai didesak untuk meninggalkan ajarannya dan menjalankan hukum mereka. Terjepitlah syari'at Islam pada saat itu, dan perstiwa inilah sebagai awal kemerosotan dunia Islam secara umum.

Di belahan lain di Mesir, berlangsung pula revolusi Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte hingga tahun 1798. Tiga tahun setelahnya (1801M) mereka keluar dari Mesir setelah di belakang mereka telah disiapkan adanya sejumlah pendukung, percetakan-percetakan dan pemuka-pemukanya termasuk para pemikirnya yang nantinya siap untuk menghembuskan pergolakan pemikiran yang "cemerlang", seperti Muhammad Ali Basya yang menjadi agen Prancis dan mendapat dukungan dari semua warganya kecuali Raja Fuad (rahimahullah) hingga akhirnya Mesir menjadi negara bagian dari Eropa.

Gerakan mereka tidak lain hanyalah perlawanan terhadap kaum Muslimin di Jazirah Arab dan sebagai barisan oposisi gerakan pembaharuan Wahabi.

Adapun dengan Inggris dan Prancis mereka adalah agen-agennya, baik secara moral maupun intelektual. Di kalangan warga negaranya, Muhammad Ali Basya mewajibkan mereka untuk melaksanakan hukum Prancis pada th 1883, di Mesir. Dan ia mendirikan Mahkamah National sesuai dengan hukum Prancis. Tetapi setelah ia merasakan bahwa hukum itu kurang efektif dicabutlah dan diganti dengan hukum Belgia pada tahun 1887, dan setelah ia merasakan bahwa hal itu juga kurang efektif dicabutnya lagi dan diganti dengan hukum Itali pada tahun 1899, begitu seterusnya hingga dibentuk hukum positif Inggris yang berlaku untuk orang-orang Muslim India dan Sudan. Dan itulah yang menjadi hukum permanen di Mesir sebagaimana juga di empat bagian negara Eropa lainnya. Akan tetapi setelah Britania (Inggris) mulai melemah di Mesir, ditetapkan hukum Eropa di setiap lembaga pemerintahan di sana.

Kemudian pengaruh-pengaruh Barat menyeruak ke seluruh daerah-daerah besar lainnya sampai di Turki Utsmani.

Bangkitlah Kamal Ataturk pada tahun 1924M dan meruntuhkan kekhalifahan dan ia mengeluarkan momentum untuk menghapus Islam dengan segala bentuknya dan menegaskan agar seluruh manusia dapat meninggalkan aqidah dan syari'ah Islam.

Di sisi pemikiran lain, muncul dari kelompok mereka, Syeikh Ali Abdul Razik (Mesir), ia termasuk barisan partai Hizbul Ahrar Ad-Dusturiin dan pernah meninggalkan Hizbul Ummah (partai Inggris). Ia mempromosikan bukunya Al-Islam wa Ushulul Hukmi. [3]

Penyelewengan pemikiran dalam buku Ali Abdul Raziq

di antaranya:

1. Bahwa Syeikh Ali telah menjadikan syari'at Islam sebagai syari'at rohani semata-mata, tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.

2. Berkenaan dengan anggapannya bahwa agama tidak melarang perang jihad Nabi saw. demi mendapatkan kerajaan, bukan dalam rangka fi sabilillah, dan bukan untuk menyampaikan da'wah kepada seluruh alam.

Dia (Ali Abdul Raziq) menulis: ". dan jelaslah sejak pertama bahwa jihad itu tidak semata-mata untuk da'wah agama dan tidak untuk menganjurkan orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya."

3. Bahwa tatanan hukum di zaman Nabi saw. tidak jelas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya.

Katanya: "Sebenarnya kewalian Muhammad saw. atas segenap kaum mu'minin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum pemerintahan."

Menurut sidang para ulama Al-Azhar yang menghakimi Syeikh Ali Abdul Raziq, cara yang ditempuh Syeikh Ali itu berbahaya, karena ia ingin melucuti Nabi saw. dari hukum pemerintahan. Sudah tentu anggapan Syeikh Ali itu bertentangan dengan bunyi tegas Al-Quranul Kariem yang menyatakan:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu." (An-Nisaa': 105).

4. Berkenaan dengan anggapannya bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan syari'at lepas dari hukum pemerintahan dan pelaksanaannya.

Kalau anggapan itu benar tentunya ia merupakan penolakan terhadap semua ayat-ayat tentang pemerintahan hukum yang banyak terdapat di Al-Quran. Dan bertentangan juga dengan Sunnah Rasul saw. yang jelas dan tegas.

Masih banyak lagi penyimpangan pemikiran Ali Abdul Raziq, hingga ia diputuskan oleh forum alim ulama Al-Azhar dengan memecatnya dan mengeluarkan dari barisan ulama al-Azhar. Keputusan pemecatan itu dikeluarkan dalam persidangan terhadap Syeikh Ali Abdul Raziq yang dipimpin Abul Fadhal Al-Jizawi dengan anggota 24 ulama Al-Azhar tanggal 22 Muharram1344H/ 12 Agustus 1925M.

Ternyata harian "Leverpool Post" dari Inggris mengungkapkan keburukan dan kejahatan yang diatur oleh penjajah Inggris, dengan menggunakan Ali Abdul Raziq sebagai alat pelaksanaannya, dibantu oleh segerombolan orang dari Partai Hizbul Ahrar Ad-Dusturiin. Berita itu dimuat 13 Agustus 1925.[4]

Ummat kebingungan

Sejak terjadinya pemisahan antara penguasa dengan sumber-sumber hukum Islam di kalangan ummat Islam, di mana manusia merasa kebingungan karena diombang-ambingkan oleh hawa nafsunya; para ulama pun sudah tak mau peduli. Masing-masing sudah sibuk dengan urusannya sendiri dan mereka pandang itulah yang lebih aman dan selamat.

Ketika terjadi kebangkitan Eropa baru, kondisi ummat sama sekali sudah tidak memiliki unsur-unsur kekuatan yang hakiki. Sebut saja akidahnya lemah dan tidak jelas lagi arahnya. Keyakinannya tidak mantap, akhlaqnya merosot, komitmennya hampir tak ada sama sekali. Pemikirannya jumud (beku), ijtihadnya macet total, kefaqihannya (kefahamannnya terhadap Islam) hilang, bid'ah merajalela, sunnah sudah diabaikan, kesadarannya menipis, sampai-sampai yang namanya ummat tidak seperti ummat lagi. Maka orang Barat mengeksploitasi kesempatan tersebut dengan menjajah dan menguasai berbagai negeri dan menghabisi sisa-sisa unsur kekuatan pribadi ummat sampai keadaannya seperti apa yang kita rasakan sekarang. Penuh kehinaan tanpa memiliki wibawa sama sekali. Segala urusan kita berada di tangan musuh, dan nasib kita ditentukan oleh mereka para penjajah itu. Akhirnya kita minta bantuan kepada mereka untuk menyelesaikan segala problem yang timbulnya dari pribadi kita sendiri. [5]

Para penjajah benar-benar memahami karakteristik ummat yang dijajahnya (yang keadaannya telah carut marut itu). Mereka memfokuskan perhatian pada pembentukan program pengajaran dan lembaga-lembaganya, dengan harapan dapat mengubah pemikiran-pemikiran kaum Muslimin sehingga siap untuk menerima pemikiran-pemikiran alam baru dan berusaha menyelaraskannya.

Para penjajah kafir tersebut beranggapan bahwa penerimaan kaum Muslimin terhadap realitas yang baru dapat mendorong mereka untuk mencapai kemajuan.

Hal itu mereka analogikan pada negara-negara Eropa yang tidak merencanakan programnya yang benar-benar mantap untuk mencapai suatu peradaban kecuali setelah melepaskan agamanya dan bebas dari belenggu gereja. Menurut mereka, semua agama hanya merupakan lembaga serta penghalang untuk mencapai tujuan.

Allah SWT berfirman:

كبرت .......... إلا كذبا



"Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecualidusta." (Al-Kahfi: 5).

Tuduhan-tuduhan mereka itu memang benar untuk agama mereka, namun sangat jauh untuk dikatakan benar terhadap dien Al-Islam. Karena, dengan Islam itu Allah menghendaki agar manusia hidup bahagia dan terwujud segala keinginannya.[6]

Penjajah menekan sistem pengajaran Islam

Dalam rangka usaha untuk memisahkan ummat dari eksistensi dan kehidupannya yang Islami, para penjajah kafir melakukan tekanan-tekanan dan hambatan terhadap sistem pengajaran Islam. Mereka juga menghembuskan pemikiran-pemikiran yang dapat merendahkan kedudukan dan menghina pelajar-pelajaran Islam.

Sebagai kebalikannya, mereka memperhatikan dan membantu murid-murid yang memasuki sekolah-sekolah baru tempat pendidikan mereka (penjajah). Di hadapan mereka dihadapkan pintu masa depan yang gilang-gemilang dan akhirnya posisi kepemimpinan ummat menjadi tergantung kepada mereka (yang diasuh penjajah itu, pen).

Begitulah tekanan-tekanan yang dilancarkan terhadap sistem pendidikan Islam dan bahasa Arab. Semua jalan yang menuju ke sana tertutup rapat. Murid-murid yang tetap tekun hanyalah sebagian kecil saja. Biasanya mereka banyak menghadapi tekanan tekanan yang seringkali mengakibatkan mereka berhenti dan macet di tengah jalan. Kalau tidak, maka mereka dihadapkan pada perlakuan yang berbeda, dengan para lulusan sekolah mereka (penjajah).[7]

Sistem itu masih dilanjutkan pula oleh pemerintahan baru setelah lepas dari jajahan. Walaupun para pemegang tampuk pemerintahan (baru yang sudah merdeka) mengaku dirinya Muslim, namun cara-cara penjajah tetap diterapkan bahkan lebih intensip. Baik itu mengenai sistem hukum/ peradilan dan pemerintahan, maupun sistem pendidikan dan penerimaan pegawai. Istilah lokal Jawa, Londo Ireng (Belanda Hitam alias pribumi, namun kejamnya dan liciknya dalam penerapan kekafiran lebih Belanda /lebih menjajah dibanding Belanda penjajah).

Akibatnya, di samping yang mendapatkan kesempatan memimpin itu orang-orang yang tidak tahu Islam karena pendidikannya ala kafirin, masih pula sikap mereka pun sudah menjadi orang yang sekuler tulen, dalam bentuk keturunan orang Islam. Pola pikirnya sekuler, gaya hidupnya sekuler, pergaulan hidupnya sekuler, penerapan hukum dan pembelaannya ke arah sekuler, anti Islam.

Membentengi ummat dari sekulerisasi dan penyimpangan pemikiran

Tiba gilirannya, kita harus memikirkan, bagaimana membentengi ummat dari penyimpangan pemikiran, dari sekulerisasi dan penjerumusan ke arah kekafiran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam secara beramai-ramai, walau mereka ada yang mengaku dirinya Muslim.

Ibarat satu kampung, keadaannya sudah ditenggelamkan dalam air seperti kampung-kampung di sekitar Waduk Kedung Ombo di Sragen-Boyolali Jawa Tengah di saat ada pemaksaan dari pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun (1966-1997) pimpinan Soeharto tempo hari. Hanya saja penenggelaman dalam pembahasan ini adalah dari segi sistem hukum, sistem pendidikan, dan kebijakan-kebijakan yang menyingkirkan Islam. Maka yang masih tersisa tinggallah yang diselamatkan oleh Allah SWT.

Setelah tenggelam dalam pola pikir yang sekuler, yang tak Islami, lalu harus dibentengi dengan cara bagaimana?

Secara teori, kita harus menyingkirkan segala pemikiran yang tak sesuai dengan Islam. Ibarat air yang telah menggenangi, maka harus ditawu, dipompa untuk dibuang, dan dikuras. Jadi pola pikir sekuler itu harus dikikis, bahkan diperangi agar terkikis habis. Setelah itu diisi dengan pola pikir yang Islami.

Caranya?

Secara teori, sistem hukum dan sistem pendidikan harus dikembalikan ke Islam.

Caranya?

Para pemegang kekuasaan bidang hukum dan pendidikan terdiri dari orang-orang yang berpola pikir Islami. Tetapi itu hanya bisa ditempuh bila pemegang kendali kekuasaan adalah orang-orang yang berpola pikir Islami.

Untuk mencapai itu, mesti diadakan pendidikan yang intensip, yang secara herargis mencapai tingkatan sampai tinggi dan tetap punya komitmen yang tinggi terhadap pola pemikiran yang Islami.

Bukankah nantinya tetap kalah dalam bersaing, karena sistemnya tidak memungkinkan untuk merebut pasar kedudukan?

Di balik upaya manusia, dalam menegakkan kebenaran ini ada dukungan Allah SWT.

يأيها الذين أمنوا إن تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم.

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS Muhammad/ 47:7).

Itu jaminan Allah SWT.

Di balik itu pula, Nabi SAW bersabda :

لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة. (رواه أحمد).

“Tali-tali Islam pasti akan putus satu tali demi satu tali. Maka setiapkali putus satu tali (lalu) manusia bergantung dengan tali yang berikutnya. Dan tali Islam yang pertama kali putus adalah hukum(nya), sedang yang terakhir (putus) adalah shalat.” [8]

Tali-tali hukum Islam ternyata telah diputus-putus oleh penjajah dan dilanjutkan oleh pemerintah pengganti penjajah, dan para tokoh maupun ilmuwan sekuler, musuh Islam, anti Islam, atau yang alergi Islam. Demikian pula tali-tali sistem pendidikan. Bahkan sistem budaya pula, mereka habisi dari Islam.

Kini hal yang jelas belum diputus adalah shalat (kecuali oleh kelompok sesat yang tak mewajibkan shalat, misalnya kelompok Isa Bugis ataupun Az-Zaitun yang punya sekolahan/ pesantren megah di Indramayu Jawa Barat yang tidak mewajibkan shalat, yang berarti telah menggerogoti Islam sampai batas terakhir), maka kita kembalikan apa yang putus-putus itu dengan membangun kembali shalat kita, dengan berjama'ah ke masjid-masjid dan meningkatkan kekhusyu'an. Dari situ, akan terbina insan-insan Muslim yang tangguh, yang mampu mengendalikan dirinya dari fahsya' (kekejian) dan munkar. Karena Allah SWT berfirman:

إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر. (العنكبوت: 45).

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar". (QS Al-’Ankabuut 29:45).

Terwujudnya masyarakat yang bisa terhindar dari fahsya’ dan munkar itu hanyalah kalau diselenggarakan shalat berjama’ah di setiap kampung dan pemukiman, atau di mana saja Ummat Islam berada. Sebab, tanpa diselenggarakan shalat berjama’ah, maka Nabi saw memastikan masyarakat itu pasti dikuasai oleh syetan. Nabi saw bersabda:

ما من ثلاثة في قرية ولا بدو لا تقام فيهم صلاة الجماعة إلا استحوذ عليهم الشيطان فعليكم بالجماعة، فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية.

“Tidaklah dari tiga orang di dalam suatu desa dan tidak pula di pedusunan yang tidak didirikan di kalangan mereka itu shalat berjama’ah kecuali terhadap mereka itu syetan menguasainya. Maka wajib atas kalian berjama’ah, maka sesungguhnya serigala itu hanya memakan kambing yang terpencil (dari kawannya).” [9]

Masyarakat Muslim yang aktif melaksanakan shalat berjama’ah insya Allah tidak dikuasai syetan, dan mereka itulah yang insya Allah mampu menghindarkan diri dari perbuatan fakhsya’ dan munkar. Sebaliknya, masyarakat yang tidak menegakkan shalat berjama’ah maka sudah dijelaskan oleh Nabi saw, pasti mereka dikuasai oleh syetan. Itu kalau tingkat kampung atau pedusunan. Lha kalau tingkatnya itu nasional, satu bangsa, yang jumlahnya 200 juta jiwa lebih, dan mayoritas/ kebanyakan mengaku dirinya Muslim, lantas mereka tidak aktif berjama’ah shalat di masjid-masjid dan mushalla, maka mafhum mukhalafah (pengertian tersirat) dari Hadits tersebut adalah: masyarakat itu bisa-bisa dikuasai oleh raja syetan (bukan sekadar syetan desa). Sedang syetan itu menurut Al-Qur’an ada yang dari jenis jin dan ada yang dari jenis manusia. Masih mending kalau dari jenis jin kafir, apabila dibacakan ayat kursi dan lain-lain maka pasti takut. Tetapi kalau syetan yang dari jenis manusia, walaupun dibacakan surat kursi tetap saja mendenges (tidak mempan), tidak takut. Maka ada perintah jihad memerangi orang kafir, musyrik, murtad, orang sekuler (sebab menurut Syeikh Muhammad Al-Ghazali Mesir, orang sekuler itu hukumnya murtad), dan munafiq; soalnya mereka tidak mempan dengan bacaan-bacaan berupa ayat-ayat yang ditakuti oleh syetan. Jadi harus dilawan dengan jihad.

Masyarakat Islam yang taat berjama’ah shalat itulah yang sanggup berjihad melawan syetan-syetan berupa manusia. Dan dari situlah tercipta masyarakat Islam yang utuh, yakni secara rohani mereka sanggup mencegah diri dari fahsya’ dan munkar, sedang dari segi fisik mereka sanggup berjihad untuk meninggikan kalimah Allah SWT, melawan manusia-manusia kafir, durjana, munafik, musyrik, ataupun murtad.

Dengan tumbuhnya sosok-sosok pribadi muslimin yang mampu mengendalikan diri dari fahsya' dan munkar dan berani berjihad itulah maka mereka akan memiliki bashirah (pandangan hati) yang tajam, yang mampu membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Hanya saja semua itu harus dilandasi ilmu Islam yang memadai, sehingga bashirah yang tajam itu akan dibentengi oleh hujjah yang benar. Itulah pokok jalan keluarnya.

Al-hasil, jalan yang harus ditempuh adalah merestorasi pemahaman ummat dengan menanamkan aqidah shahihah, menegakkan shalat berjama'ah, mendisiplinkan da'wah Islamiyah, dan membentuk serta melaksanakan sistem pendidikan yang sesuai dengan Islam. Bila semua itu ditempuh maka pada masanya akan datang kebenaran ke dalam dada-dada Muslimin dan hancurlah kebathilan, tersingkir dari benak-benak Muslimin. Dari individu-individu Muslim, ke tingkat keluarga, ke tingkat kelompok, dan kemudian insya Allah akan ke tingkat yang lebih luas lagi, sehingga akan meratalah pemahaman yang benar tentang Islam. Kalau toh tidak sampai merata, insya Allah pribadi-pribadi yang terselamatkan itu sendiri berarti telah selamat dari kesesatan.

Semua itu harus dimulai. Ibda’ binafsik. Mulailah dengan dirimu sendiri lebih dulu. Mari.

Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan bashirah yang mampu mendeteksi bahwa yang bathil ataupun menyimpang itu tampak bathil, sehingga kita mampu menghindarinya. Amien.



--------------------------------------------------------------------------------



[1] (HR Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud, shahih).

[2] (Dr Abdul Halim Uwies, Al-Islaamu kamaa yanbaghi an nu'mina bih, diindonesiakan menjadi Koreksi terhadap Ummat Islam, Darul Ulum Press, Jakarta, cet pertama, 1989, hal 82).

[3] (ibid, hal 84).

[4] (Dari Al-Milal wan Nihal oleh Asy Syahrastani, dikutip Fathi Yakan, Islam di tengah persekongkolan musuh abad 20, GIP cet 6, 1993, hal 113, lihat H Hartono A Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kutsar, 1994, hal 83-84).

[5] (Dr. Thoha Jabir Fayyadh al-'Ulwani, Adabul Ikhtilaf fil Islam/ Beda Pendapat bagaimana menurut Islam, GIP, 1991, hal 135).

[6] (ibid, hal 139).

[7] (ibid, 140).

[8] (Hadits riwayat Ahmad dari Abi Umamah).

[9] HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasaa’i, dan Al-Hakim, dan dia itu shahih.
di tulis ulang oleh eko pamiyanto al irsyad

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus